Results for Pendidikan

Batas-batas kewenangan profesional

December 16, 2015
Profesionalitas dalam bekerja harus memperhatikan ciri-ciri profesi yang dijalani. Suatu profesi baru bisa dikatakan profesional saat mampu melaksanakan profesionalitas dalam ruang lingkup profesinya. Suatu profesi memiliki batas-batas kewenangan tertentu yang berupa janji profesional untuk mengembangkan kebaikan khusus. Janji tersebut dengan jelas membatasi apa yang boleh dilakukan seorang profesional demi kepentingan kliennya.
Dalam melaksanakan profesinya, seorang profesional dipandang sebagai individu yang selalu memprioritaskan kesehatan, keadilan, dan keselamatan untuk dirinya sendiri. Namun, apabila telah berhadapan dengan klien, mereka wajib mengetahui bahwa dalam berbagai keadaan, mereka harus saling membantu. Untuk menyatakannya, dilakukan dengan cara menilai kepentingan yang dibawa oleh klien. Seorang profesional mempunyai pengetahuan teknis dan dengan jelas mampu mengaplikasikan pengetahuan itu dalam bentuk praktik lapangan sehingga penilaian itu tidak akan berhenti hanya saat profesional berhadapan dengan klien.

Klien memiliki hak untuk diperhatikan oleh profesional yang melayaninya dan seorang profesional tidak dibenarkan untuk memaksakan kehendaknya sebab dalam kenyataannya, klien memiliki kelebihan pengetahuan mengenai perbandingan tentang apa yang berharga dan tidak berharga, setidaknya bagi diri mereka sendiri, dari unsur-unsur penting dalam situasi yang problematis.
Dengan kata lain, seorang profesional memiliki otoritas karena tidak mengandaikan bahwa mereka mengetahui lebih baik daripada klien mengenai kebaikan mana yang paling penting bagi klien itu sendiri. Karena itu, dari janji profesional yang telah ada sebelumnya, seorang profesional memegang satu prinsip atau batas yang mengatur bahwa praktik yang mereka laksanakan tidak mengganggu kepentingan sang klien karena pada akhirnya, tujuan utama seorang profesional adalah melayani sebaik-baiknya sang klien.

Profesionalitas juga berlaku dalam dunia pendidikan. Salah satu profesi di dalamnya adalah guru. Dalam profesi guru, ruang lingkup atau batas kewenangan mencakup tiga bidang layanan, yaitu layanan instruksional, layanan administrasi, dan layanan bantuan akademik-sosial pribadi. Layanan instruksional merupakan tugas utama guru, sedang layanan administrasi, dan layanan bantuan akademik-sosial pribadi merupakan tugas pendukung.

Penyelenggaraan proses belajar mengajar merupakan porsi terbesar dari profesi keguruan. Tugas ini menuntut guru untuk menguasai isi atau bidang materi bidang studi yang diajarkan serta wawasan yang berhubungan dengan materi itu, kemampuan mengemas materi itu sesuai dengan latar belakang perkembangan dan tujuan pendidikan, serta menyajikan sedemikian rupa sehingga merangsang murid untuk menguasai dan mengembangkan materi itu dengan menggunakan kreativitasnya. Di dalam pendidikan prajabatan, kemampuan menjalankan tugas dalam proses belajar mengajar ini dipersiapkan melalui perkuliahan bidang studi, belajar dan pembelajaran dan program pengalaman lapangan.

Bimbingan dan Konseling, tugas yang berhubungan dengan membantu murid dalam mengatasi masalah belajar pada khususnya dan masalah-masalah pribadi yang akan berpengaruh terhadap keberhasilan belajarnya. Bagaimana sebenarnya proses belajar murid di kelas sangat erat kaitannya dengan berbagai masalah di luar kelas yang sering kali bersifat non akademik. Masalah yang dihadapi dalam lingkungan kehidupan anak itu perlu dibantu pemecahannya melalui program bimbingan dan konseling.

Administrasi pendidikan, guru harus memahami bagaimana sekolah itu dikelola, apa peranan guru didalamnya, bagaimana memanfaatkan prosedur serta mekanisme pengelolaan tersebut untuk kelancaran tugas-tugasnya sebagai guru. Di samping itu guru juga harus memahami bagaimana  guru harus bertindak sesuai dengan etika jabatannya dan bagaimana guru bersikap terhadap tugas mengajar serta dengan personalia pendidikan atau orang-orang di luarnya yang ikut menentukan keberhasilan tugas mengajarnya.
Secara konseptual dan umum, ruang lingkup kerja guru itu mencakup aspek-aspek: a) kemampuan professional, b)kemampuan social, c)kemampuan personal (pribadi). Ketiga standar umum itu sering kali dijabarkan sebagai berikut (Johnson, 1980).

1.    Kemampuan professional mencakup:
  • Penguasaan materi pelajaran yang terdiri atas penguasaan bahan yang harus diajarkan dan konsep-konsep dasar keilmuan dari bahan yang diajarkannya
  • Penguasaan dan penghayatan atas landasan danwawasan kependidikan dan keguruan
  • Penguasaan proses-proses kependidikan, keguruan, dan pembelajaran
2.    Kemampuan social mencakup kemampuan untuk menyesuaikan diri kepada tuntutan kerja dan lingkungan sekitar pada waktu membawakan tugasnya sebagai guru
3.    Kemampuan personal (pribadi) mencakup:
  • Penampilan sikap yang positif terhadap keseluruhan tugasnya sebgai guru, dan terhadap keseluruhan situasi pendidikan beserta unsur-unsurnya
  • Pemahaman penghayatan dan penampilan nilai-nilai yang seharusnya dianut oleh seorang guru
Ruang lingkup profesi guru dapat pula dibagi ke dalam dua gugus, yaitu: a) gugus pengetahuan dan penguasaan teknik dasar professional dan b) gugus kemampuan professional (Soedijarto, 1982)
.
1.    Gugus pengetahuan dan penguasaan teknik dasar professional
mencakup hal-hal berikut.
  • Pengetahuan tentang disiplin ilmu pengetahuan sebagai sumber bahan studi (structure, concepts, and way of knowing);
  • Penguasaan bidang studi sebagai objek belajar;
  • Pengetahuan tentang karakteristik/perkembangan belajar
  • Pengetahuan tentang berbagai model teori belajar (umum maupun khusus)
  • Pengetahuan dan penguasaan berbagai proses belajar (umum maupun khusus)
  • Pengetahuan tentang karakteristik dan kondisi social, ekonomi, budaya, politik, sebagai latar belakang dan konteks berlangsungnya proses belajar
  • Pengetahuan tentang proses sosialisasi dan kulturalisasi
  • Pengetahuan dan penghayatan pancasila sebagai pandangan hidup bangsa
  • Pengetahuan dan penguasaan berbagai media sumber belajar
  • Pengetahuan tentang berbagai jenis informasi kependidikan dan manfaatnya
  • Penguasaan teknik mengamati proses belajar mengajar
  • Penguasaan berbagai metode mengajar
  • Penguasaan teknik menyusun instrument penilaian kemajuan belajar
  • Penguasaan teknik perencanaan dan pengembangan program belajar mengajar
  • Pengetahuan tentang dinamika hubungan interaksi antar manusia, terutama dalam proses belajar mengajar
  • Pengetahuan tentang system pendidikan sebagai bagian terpadu dari system social negara bangsa
  • Penguasaan teknik memperoleh informasi yang diperlukan untuk kepentingan proses pengambilan keputusan

2.    Gugus kemampuan professional,  mencakup:
a.    Merencanakan program belajar mengajar
  • Merumuskan tujuan-tujuan instruksional
  • Menguraikan deskripsi satuan bahasan
  • Merancang kegiatan belajar mengajar
  • Memilih media dan sumber belajar
  • Menyusun instrument evaluasi

b.    Melaksanakan dan memimpin proses belajar mengajar
  • Memimpin dan membimbing proses belajar mengajar
  • Mengatur dan mengubah suasana belajar mengajar
  • Menetapkan dan mengubah urutan kegiatan belajar

c.    Menilai kemajuan belajar
  • memberikan skor atas hasil evaluasi
  • mentransformasikan skor menjadi nilai
  • menetapkan rangking

d.    Menafsirkan dan memanfaatkan berbagai informasi hasil penilaian dan penelitian untuk memecahkan masalah professional kependidikan
Profil kemampuan dasar guru yang harus dimiliki sebagai seorang professional sebagai berikut.
1.    Menguasai bahan
  • a.    Menguasai bahan bidang studi dalam kurikulum sekolah
  • b.    Menguasai bahan pendalaman bidang studi
2.    Mengelola program belajar mengajar
  • Merumuskan tujuan instruksional
  • Mengenal dan dapat menggunakan metode mengajar
  • Memilih dan menyusun metode mengajar
  • Melaksanakan program belajar mengajar
  • Mengenal kemampuan (entry behavior) anak didik
  • Merencanakan dan melaksanakan pengajaran remidial
3.    Mengelola kelas
  • a.    Mengatur tataruang kelas untuk pengajaran
  • b.    Menciptakan iklim belajar mengajar yang serasi
  • c.    Menciptakan disiplin kelas
4.    Menggunakan media/sumber
  • Megenal, memilih dan menggunakan media
  • Membuat alat-alat bantu pelajaran sederhana
  • Menggunakan dan mengelola laboratorium dalam rangka proses belajar mengajar
  • Mengembangkan laboratorium
  • Menggunakan perpustakaan dalam proses belajar mengajar
  • Menggunakan micro teaching unit dalam program pengalaman lapangan
5.    Menguasai landasan-landasan kependidikan
6.    Mengelola interaksi belajar mengajar
7.    Menilai prestasi siswa untuk kependidikan pengajaran
8.    Melaksankan program pelayanan bimbingan dan konseling
  • Mengenal fungsi dan program pelayanan bimbingan dan konseling
  • Menyelenggarakan program pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah
9.    Menyelenggarakan administrasi sekolah
10.    Memahami prinsip-prinsip danmenafsirkan hasil-hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran
C.    Batas-Batas Kewenangan Profesional Berdasarkan Tingkatan Profesional Tenaga Kependidikan Guru
Dilihat dari sumbangannya terhadap sistem pendidikan, Raka Joni membedakan kualifikasi profesional tenaga kependidikan dalam tiga tingkatan, yaitu Tenaga Kapabel, Inovator, dan Paripurna. Dasar jenjang profesional adalah strata pendidikan tenaga kependidikan yang dianut sekarang, yaitu tenaga lulusan DI, DII, DIII, S1, dan S2. Keempat gugus kemampuan profesional seorang tenaga kependidikan adalah kemampuan yang seharusnya dimiliki seorang tenaga kependidikan dengan kualifikasi purna. Tingkatan yang disebut tenaga kependidikan dengan kualifikasi purna adalah tenaga yang telah menyelesaikan program S2. S2 yang dimaksud bukanlah S2 yang orientasinya riset melainkan S2 yang orientasinya professional. Dengan kata lain S2 dimaksudkan disini bukan S2 sekarang yang terutama dimaksudkan untuk menjadi dosen, melainkan S2 profesional.
Jenjang terendah dalam jenjang ini adalah yang memperoleh pendidikan D1, yaitu tenaga guru yang hanya berwenang melaksanakan dan menilai belajar mengajar, dan tidak mendapat wewenang untuk merencanakan program belajar mengajar, dan menafsirkan segala informasi untuk pengambilan keputusan.

Sedangkan lulusan S1 adalah tenaga professional dengan wewenang merencanakan, melaksanakan, dan menilai program belajar mengajar tetapi belum memiliki wewenang untuk memberikan tafsiran atas berbagai gejala dan informasi untuk mengambil keputusan professional tanpa konsultasi dengan tenaga profesional penuh, yaitu seorang lulusan S2 atau yang berpengalaman.
Sedangkan tenaga guru di atas jenjang DI, yaitu DII, DIII, secara meningkat akan makin diberi wewenang untuk merencanakan program belajar mengajar dengan keterbatasan-keterbatasan tertentu.
Batasan kewenangan diantara DII, DIII, S1, dan S2 dalam merencanakan program belajar mengajar adalah sebagai berikut :
a.    Tenaga dengan kualifikasi profesional purna
adalah yang berpendidikan S2 atau yang setaraf (karena pengalaman dan perbuatan yang nampak) mendapat tanggung jawab dan wewenang penuh untuk : 1) merencanakan; 2) melaksanakan; 3) menilai kemajuan belajar berdasarkan alat ukur yang disusun sendiri; dan 4) menafsirkan dan memanfaatkan berbagai informasi yang relevan untuk pengambilan keputusan di bidang profesinya.
Selanjutnya perlu dikemukakan bahwa semua guru, apapun kualifikasi profesionalnya, harus dapat melaksanakan dan memimpin proses belajar mengajar dengan baik. Tetapi tenaga guru dengan kualifikasi professional purna (guru ahli), disamping pekerjaannya sebagai guru untuk pelajar yang diasuhnya, secara langsung juga memiliki tugas untuk membina dan memberikan bantuan professional kepada guru-guru yang kualifikasi profesionalnya belum mencapai tingkatan purna.

b.    Tenaga dengan kualifikasi professional dekat purna
adalah yang berpendidikan S1 atau yang dianggap ekuivalen bila dilihat dari pengalaman dan kemampuan nyata. Tenaga ini memiliki wewenang untuk merencanakan, melaksanakan, dan menilai kemajuan belajar, tetapi belum diberi wewenang untuk mengambil keputusan professional berdasarkan berbagai informasi yang terkumpul tanpa konsultasi dengan tenaga professional dengan kualifikasi purna. Tenaga ini berhak merencanakan program belajar mengajar, tetapi terbatas pada program yang disajikan secara klasikal, sedangkan wewenangnya untuk merencanakan program pengayaan dan perbaikan (remidial) hanya dapat dilakukan melalui konsultasi dengan guru yang bertaraf professional purna.

c.    Tenaga dengan kualifikasi professional semipurna I
adalah yang berpendidikan DIII atau yang dipandang ekuivalen. Tenaga ini memiliki wewenang merencanakan, melaksanakan, dan menilai. Hanya dalam wewenangnya untuk menilai, proses penyusunan instrumennya perlu dikerjakan melalui konsultasi dengan tenaga yang berkualifikasi professional dekat purna atau tenaga purna. Sedangkan dalam merencanakan program, wewenangnya sama, dengan catatan masih perlu memperoleh pembinaan.

d.    Tenaga dengan kualifikasi professional semipurna II
adalah yang berpendidikan DII atau yang dipandang ekuivalen. Tenaga ini memiliki wewenang yang sama dengan tenaga semipurna I, hanya dalam merencanakan program selalu harus dibina dan diawasi, dan dalam proses menilai kemajuan belajar instrumennya sebanyak mungkin dibantu penyusunannya oleh tenaga-tenaga dengan kemampuan professional yang lebih tinggi.

e.    Tenaga dengan kualifikasi professional paripurna
yaitu tenaga yang hanya mendapat wewenang penuh melaksanakan program yang telah direncanakan dan diprogram, dan menilai kemajuan belajar dengan instrument yang telah disiapkan. Ini tidak berarti bahwa tenaga ini tidak mendapat tugas untuk menyusun persiapan mengajar, yaitu menata urutan penyajian dan waktu penyajian dari bahan yang telah direncanakan dan di program oleh tenaga-tenaga yang lebih profesional.

D.    Sistem Penilaian sebagai Wewenang Profesi Guru
Sistem penilaian kemajuan belajar, selain berfungsi sebagai identifikasi tingkat penguasaan dan memberikan umpan balik bagi guru dan murid, juga berperan sebagai alat yang ampuh untuk meningkatkan motivasi belajar dan pembinaan tingkah laku. Karena keberadaan sistem penilaian ini begitu penting, guru sebagai tenaga pendidik harus mengembangkannya dengan baik. Implikasinya, dengan melihat sistem tersebut dari sudut pandang dimensi yang dinilai dan cara memberi nilai.
Pada umumnya guru cenderung menilai hasil belajar pada akhir suatu pembelajaran. Padahal hasil akhir dari suatu proses belajar tidak selalu menggambarkan tingkah laku dan sikap nyata murid dalam cara mereka belajar dam bekerja. Guru sebagai pemegang andil penting dalam penilaian juga harus menekankan pada penilaian terhadap proses, yaitu tentang sikap bekerja, belajar, ketepatan waktu, dan kesungguhan. Sedangkan untuk penilaian akhir, harus meliputi benar tidaknya jawaban, cara menyelesaikan pekerjaan, ketepatan waktu menyelesaikan pekerjaan, kerapian hasil kerja, dan kualitas pekerjaannya.
Guru memiliki wewenang untuk melaksanakan penilaian ini melalui berbagai metode, di antaranya berupa penulisan makalah, laporan, ulasan, proyek, dan kemampuan bekerja secara nyata. Dengan berbagai metode ini, guru juga memiliki rubrik yang menyangkut kriteria penilaian sehingga mampu memberikan porsi dari hasil belajar masing-masing murid.
Batas-batas kewenangan profesional Batas-batas kewenangan profesional Reviewed by Ifta on December 16, 2015 Rating: 5

Keahlian Profesional

December 14, 2015
Dewasa ini ada kegandrungan dalam masyarakat untuk menuntut profesinalisme dalam bekerja. Walaupun istilah ini sering dugunakan dengan bebas tanpa ada konsep yang jelas, namun hal tersebut menunjukkan cerminan dari adanya tuntutan yang semakin besar dari masyarakat akan proses dan hasil kerja yang bermutu, penuh tanggungjawab, dan bukan asal dilaksanakan.
Pada umumnya masyarakat awam memaknai kata profesionalisme bukan hanya digunakan untuk pekerjaan yang telah diakui sebagai suatu profesi, melainkan pada hampir setiap pekerjaan. Misal, penjahat profesional, sopir profesional, hingga tukang ojek profesional. Masyarakat awam juga mengartikan seseorang disebut profesional jika cara kerjanya baik, cekatan, dan hasilnya memuaskan. Dengan hasil kerjanya itu, seseorang mendapatkan uang atau bentuk imbalan lainnya.

Dikalangan profesi-profesi yang ada, terdapat kesepakatan tentang pengertian profesi, yaitu profesi menunjuk pada suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian, tanggungjawab, dan kesetiaan terhadap profesi. Namun, begitu dipelajari lebih dalam apa dibalik batasan itu, banyak perbedaan ditemukan. Seluk-beluk profesi tidaklah sederhana, bahkan mulai konsep dasar tentang profesi terdapat perbedaan mendasar. Misalnya, profesi tertentu mensyaratkan anggotanya disebut profesional manakala pendidikannya sarjana keatas, dalam profesi lain hal ini tidak penting.
Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary (1983) yang dikutip dalam artikel Murtanto (1999) mendefinisikan keahlian merupakan keterampilan dari seorang ahli. Sedangkan ahli didefinisikan sebagai seseorang yang memiliki tingkat keterampilan tertentu atau pengetahuan yang tinggi dalam subjek tertentu yang diperoleh dari pelatihan atau pengalaman. Dalam artikel yang sama, Hayes Roth, dkk (1983) mendefinisikan keahlian sebagai keberadaan dari pengetahuan tentang suatu lingkungan tertentu, pemahaman terhadap masalah-masalah yang timbul dalam lingkungan tersebut, dan keterampilan untuk memecahkan permasalahan tersebut.

Profesional berasal dari kata profesi yang mempunyai makna menunjuk pada suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian, tanggung jawab, dan kesetiaan pada pekerjaan itu (Drs Suparlan. Halm. 71). Sedangkan kata profesional menunjuk pada dua hal yakni orangnya dan penampilan atau kinerja orang tersebut dalam melaksanakan tugas atau pekerjaannya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keahlian profesional merupakan keterampilan yang dimiliki oleh orang yang mempunyai pekerjaan atau jabatan dalam bidang tertentu.

Karakteristik Keahlian Profesi
Secara implisit sesungguhnya telaah tersimpul beberapa ciri pokok yang membedakan suatu jenis pekerjaan yang telah dapat diidentifikasikan sebagai suatu profesi dari jenis kategori pekerjaan lainnya. Telah sejak lama permasalahan karakteristik keprofesian tersebut menjadi perhatian dan fokus telaah banyak pakar yang meminatinya. Namun, tidak terjadi keseragaman kesimpulan hasil kajian para pakar tersebut mengenai karakteristik keprofesian tersebut.
Lieberman (1956), mengemukakan bahwa karakteristik profesi kalau dicermati secara seksama ternyata terdapat pokok-pokok persamaannya. Di antara pokok-pokok persamaan tersebut ialah sebagai berikut.

1.    A unique, definite, and essential servirce
Keahlian profesi merupakan suatu jenis pelayann atau keahlian yang unik (khas), dalam arti berbeda dari jenis pekerjaan atau pelayanan apapun yang lainnya. Disamping itu profesi juga bersifat definitif dalam arti jelas batas-batas kawasan cakupan bidang garapannya. Selanjutnya, keahlian profesi juga merupakan suatu keahlian atau pelayangan yang amat penting, dalam arti hal itu amat dibutuhkan oleh pihak penerima jasa sementara pihaknya sendiri tidak memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan untuk melakukannya sendiri.

2.    An emphasis upon intellectual technique in performing its service
Pelayanan itu amat menuntut kemampuan kinerja intelektual, yang berlainan dengan keterampilan manual semata-mata. Sehingga, keahlian suatu profesi harus ada suatu teori dan wawasan intelektual yang mendasarinya.

3.    A long period of specialized training
Perolehan kemampuan intelektual serta sikap profesional tersebut, seseorang akan memerlukan waktu yang cukup lama. Untuk mencapai kualifikasi keprofesian sempurna lazimnya tidak kurang dari lima tahun lamnya. Ditambah dengan pengalaman praktek terbimbing hingga tercapainya suatu tingkat kemnadirian secara penuh dalam menjalankan profesinya.

4.    A broad range of autonomy for both the individual practitioners and the occupational group as whole
Kinerja pelayanan itu demikian cermat secara teknis, sehingga kelompok (asosiasi) profesi yang bersangkutan sudah memberikan jaminan bahwa anggotanyadipandang mampu untuk melakukannya sendiri, apa yang seharusnya dilakukan dan bagaimana menjalankannya, siapa yang seharusnya meberikan izin dan lisensi melaksanakan kinerja itu.

5.    An acceptance by the practitioner of broad personal responsbility for judgments made and acts performed within the scope of professional autonomy
Konsekuensi dari otonomi yang dilimpahkan kepada seorang tenaga praktisi profesional itu, maka berarti pula ia memikul tanggungjawab pribadinya harus secara penuh. Apapun yang terjadi, seperti dokter keliru melakukan diagnosis atau meberikan perlakuan terhadap pasiennya atau seorang guru yang keliru menangani permasalahan siswanya, maka semuanya itu harus dipertanggungjawabkannya.

6.    An emphasisupon the service to be rendered, rather than the economic gain to the practitioners, as the basis for the organization and performance of the social service delegated to the ocupational group
Mengingat pelayanan profesional itu merupakan hal yang amat esensial maka hendaknya kinerja pelayanan tersebut lebih mengutamakan kepentingan pelayanan pemenuhan kebutuhan tersebut, ketimbang untuk perolehan imbalan ekonomis yang akan diterimanya. Hal tu bukan berarti pelayanan profesional tidak boleh menerima imbalan yang selayaknya. Bahkan, seandainya kondisi dan situasi menuntut atau memanggilnya, seorang profesional hendaknya bersedia memberikan pelayanan tanpa imabalan sekalipun.

7.    A comprehensive self-gouverning organization of practitioners
Mengingat pelayanan profesional itu sangat teknis sifatnya, maka masyarakat menyadari bahwa pelayanan semacam itu hanya mungkin dilakukan penanganannya oleh mereka yang kompeten saja.

8.    A code of ethics wich has been clarified and interpreted at ambiguous and doubtful by concrete cases
Otonomi yang dinikmati dan dimiliki oleh organisasi profesi dengan para anggotanya seharusnya disertai kesadaran dan niat yang tulus baik pada organsasi maupun pada individual anggotanya untuk memonitor perilakunya sendiri.

Seseorang dapat dikatakan profesional apabila memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
  1. Memiliki suatu keahlian khusus
  2. Merupakan suatu panggilan hidup
  3. Memiliki teori-teori yang baku secara universal
  4. Mengabdikan diri untuk masyarakat dan bukan untuk diri sendiri
  5. Dilengkapi dengan kecakapan diagnostik dan kompetensi yang aplikatif
  6. Memiliki otonomi dalam melaksanakan pekerjaannya
  7. Mempunyai kode etik
  8. Mempunyai klien yang jelas
  9. Mempunyai organisasi profesin yang kuat
  10. Mempunyai hubungan dengan profesi pada bidang-bidang yang lain
Ciri-ciri di atas masih umum karena belum dikaitkan dengan bidang keahlian tertentu. Dalam bidang pendidikan, profesional tidak lepas dari seorang guru. Menurut Gilbert H. Hunt, guru yang profesional harus memiliki kriteria-kriteria tertentu yang positif antara lain:
  1. Sifat positif dalam membimbing siswa
  2. Pengetahuan yang mamadai dalam mata pelajaran yang dibina
  3. Mampu menyampaikan materi pelajaran secara lengkap
  4. Mampu menguasai metodologi pembelajaran
  5. Mampu memberikan harapan riil terhadap siswa
  6. Mampu merekasi kebutuhan siswa
  7. Mampu menguasai manajemen kelas

C.    Sikap Keahlian Profesional
    Sikap-sikap yang dimiliki oleh seorang yang profesional dalam bidangnya antara lain:
  • Fleksibel
Memiliki pegangan hidup, prinsip, pendirian/keyakinan (nilai dan ilmu) dalam menyatakan keyakinannya harus fleksibel, disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan kerja.
  • Bersikap terbuka
Menerima pendapat, saran, dan kritik yang membangun dari orang lain serta mau mengintrospeksi diri.
  • Berdiri sendiri
Dewasa secara intelektual, sosial dan emosional.
  • Peka/sensitif
Cepat mengerti, memahami kondisi lingkungan kerja.
  • Tekun
Giat dalam menyiapkan, melaksanakan dan menyempurnakan pekerjaannya
  • Realistik
Melihat kenyataan lingkungan kerja yang sebenarnya dan bekerja sesuai dengan keadaan tersebut.
  • Melihat ke depan
Melaksanakan tugas yang dimiliki dengan selalu memikirkan kelanjutannya.
  • Rasa ingin tahu
Selalu belajar, mencari dan menemukan sendiri ilmu pengetahuan dan teknologi
  • Ekspresif
Menciptakan lingkungan kerja yang kondusif
  • Menerima diri
Menerima keadaan dan kondisi dirinya. Memahami kelebihan dan kelemahan diri sendiri

 

D.    Tingkat dan Jenis Profesi
    Keragaman kemampuan ditinjau dari tingkat keprofesionalan yang ada diperlukan karena di masyarakat terdapat berbagai pekerjaan yang kategorinya juga berbeda. Richey (1974) secara tentatif telah mencoba mengidentifikasi tingkat-tingkat keprofesian itu dengan pengkatagorian sebagai berikut :
  1. Profesi yang telah mapan (older professions)
  2. Profesi baru (newer professions)
  3. Profesi yang sedang tumbuh kembang (emergent professions)
  4. Semi-profesi (semiprofessions)
  5. Tugas jabatan atau pekerjaan yang belum jelas arah tuntutan status keprofesionalannya (occupations that lay unrecognized claim to professional status).

    Perbedaan kategori pekerjaan tidak menunjukkan perbedaan unsur-unsur atau elemen yang memerlukan pelayanan tetapi menunjukkan pada sifat dan hakekat dari pelayanan. Perbedaan kebutuhan pelayanan ini khususnya dibedakan atas mendasar dan tidaknya tumpuan pekerjaan serta besar kecilnya tanggung jawab yang dituntut. Sebagai gambaran yang dapat digolongkan ke dalam jenis kategori yang mapan antara lain: hukum,kedokteran, dan sebagainya.
    Sa’ud (2009) dalam bukunya menunjukkan delapan jenis bidang yang termasuk tingkat profesional dan semi-profesional yang dapat dilihat dalam bagan berikut :











     Jelas terlihat dari bagan di atas bahwa untuk setiap bidang profesi yang termasuk pkerjaan profesional dan semi-profesional memerlukan keahlian-kehalian khusus yang tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang.


Keahlian Profesional Keahlian Profesional Reviewed by Yonif on December 14, 2015 Rating: 5

Teori belajar humanistik

December 09, 2015

Menurut Teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. \proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambatlaun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.
    Tujuan utama para pendidik adalah membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Para ahli humanistik melihat adanya dua bagian pada proses belajar, ialah :
1.    Proses pemerolehan informasi baru,
2.    Personalia informasi ini pada individu.

Tokoh penting dalam teori belajar humanistik secara teoritik antara lain adalah: Arthur W. Combs, Abraham Maslow dan Carl Rogers.

a.    Arthur Combs (1912-1999)
Bersama dengan Donald Snygg (1904-1967) mereka mencurahkan banyak perhatian pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering digunakan. Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu sebenarnya tak lain hanyalah dati ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya.
    Untuk itu guru harus memahami perlaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada. Perilaku internal membedakan seseorang dari yang lain. Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu. Sehingga yang penting ialah bagaimana membawa si siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan menghubungkannya dengan kehidupannya.
    Combs memberikan lukisan persepsi dir dan dunia seseorang seperti dua lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat pada satu. Lingkaran kecil (1) adalah gambaran dari persepsi diri dan lingkungan besar (2) adalah persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri makin berkurang pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi, hal-hal yang mempunyai sedikit hubungan dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan.

b.    Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal :
(1)    suatu usaha yang positif untuk berkembang
(2)    kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.
Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis.
Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya, tetapi di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri(self).
    Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia menjadi tujuh hirarki. Bila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan pertama, seperti kebutuhan fisiologis, barulah ia dapat menginginkan kebutuhan yang terletak di atasnya, ialah kebutuhan mendapatkan ras aman dan seterusnya. Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting yang harus diperharikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Ia mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar ini mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar si siswa belum terpenuhi.

c.    Carl Rogers
Carl Rogers lahir 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinois Chicago, sebagai anak keempat dari enam bersaudara. Semula Rogers menekuni bidang agama tetapi akhirnya pindah ke bidang psikologi. Ia mempelajari psikologi klinis di Universitas Columbia dan mendapat gelar Ph.D pada tahun 1931, sebelumnya ia telah merintis kerja klinis di Rochester Society untuk mencegah kekerasan pada anak.
    Gelar profesor diterima di Ohio State tahun 1960. Tahun 1942, ia menulis buku pertamanya, Counseling and Psychotherapy dan secara bertahap mengembangkan konsep Client-Centerd Therapy.
Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu:
1.    Kognitif (kebermaknaan)
2.    experiential ( pengalaman atau signifikansi)

Guru menghubungan pengetahuan akademik ke  dalam pengetahuan terpakai seperti memperlajari mesin dengan tujuan untuk memperbaikai mobil. Experiential Learning menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa. Kualitas belajar experiential learning mencakup : keterlibatan siswa secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh siswa sendiri, dan adanya efek yang membekas pada siswa.
        Menurut Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu:

    Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
    Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa
    Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
    Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses.


Dari bukunya Freedom To Learn, ia menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip dasar humanistik yang penting diantaranya ialah :

    Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.
    Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksud sendiri.
    Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri diangap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
    Tugas-tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
    Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
    Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
    Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggungjawab terhadap proses belajar itu.
    Belajar inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari.
    Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah dicapai terutama jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengritik dirinya sendiri dan penilaian dari orang lain merupakan cara kedua yang penting.
    Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses perubahan itu.

Salah satu model pendidikan terbuka mencakuo konsep mengajar guru yang fasilitatif yang dikembangkan Rogers diteliti oleh Aspy dan Roebuck pada tahun 1975 mengenai kemampuan para guru untuk menciptakan kondidi yang mendukung yaitu empati, penghargaan dan umpan balik positif.  Ciri-ciri guru yang fasilitatif adalah :
  • Merespon perasaan siswa
  • Menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang
  • Berdialog dan berdiskusi dengan siswa
  • Menghargai siswa
  • Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan
  • Menyesuaikan isi kerangka berpikir siswa (penjelasan untuk mementapkan kebutuhan segera dari siswa)
  • Tersenyum pada siswa
Dari penelitian itu diketahui guru yang fasilitatif mengurangi angka bolos siswa, meningkatkan angka konsep diri siswa, meningkatkan upaya untuk meraih prestasi akademik termasuk pelajaran bahasa dan matematika yang kurang disukai, mengurangi tingkat problem yang berkaitan dengan disiplin dan mengurangi perusakan pada peralatan sekolah, serta siswa menjadi lebih spontan dan menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi.


Implikasi Teori Belajar Humanistik
Guru Sebagai Fasilitator
    Psikologi humanistik memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator yang berikut ini adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas sifasilitator. Ini merupakan ikhtisar yang sangat singkat dari beberapa guidenes(petunjuk):

    Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman kelas
    Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
    Dia mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi.
    Dia mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.
    Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok.
    Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok
    Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat berperanan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti siswa yang lain.
    Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa
    Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama belajar
    Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk menganali dan menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri.


Aplikasi Teori Humanistik Terhadap Pembelajaran Siswa
    Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran.
    Siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri , mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.
    Tujuan pembelajaran lebih kepada proses belajarnya daripada hasil belajar. Adapun proses yang umumnya dilalui adalah :
  • Merumuskan tujuan belajar yang jelas
  • Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas , jujur dan positif.
  • Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif sendiri
  • Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri
  • Siswa di dorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukkan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dariperilaku yang ditunjukkan.
  • Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggungjawab atas segala resiko perbuatan atau proses belajarnya.
  • Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya
  • Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi siswa

Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk diterpkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjaadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan , norma , disiplin atau etika yang berlaku.


Semoga bermanfaat amin.
Teori belajar humanistik Teori belajar humanistik Reviewed by Ifta on December 09, 2015 Rating: 5

Teori belajar sosial

December 09, 2015

Belajar sosial (juga dikenal sebagai belajar observasional atau belajar vicarious atau belajar dari model) adalah proses belajar yang muncul sebagai fungsi dari pengamatan, penguasaan dan, dalam kasus proses belajar imitasi, peniruan perilaku orang lain. Jenis belajar ini banyak diasosiasikan dengan penelitian Albert Bandura, yang membuat teori belajar sosial. Di dalamnya ada proses belajar meniru atau menjadikan model tindakan orang lain melalui pengamatan terhadap orang tersebut. Penelitian lebih lanjut menunjukkan adanya hubungan antara belajar sosial dengan belajar melalui pengkondisian klasik dan operant.

Banyak yang secara salah menyamakan belajar observasional dengan belajar melalui imitasi. Kedua istilah ini berbeda dalam arti bahwa belajar observasional mengarah pada perubahan perilaku akibat mengamati model. Ini tidak selalu berarti bahwa perilaku yang ditunjukkan orang lain diduplikasi. Bisa saja si pengamat justru melakukan sesuatu yang sebaliknya dari yang dilakukan model karena ia telah mempelajari konsekuensi dari perilaku tersebut pada si model. Dalam hal ini adalah belajar untuk tidak melakukan sesuatu dan ini berarti terjadi belajar observasional tanpa adanya imitasi.
Walau belajar observasional dapat terjadi dalam setiap tahapa kehidupan, tapi terutama terjadi saat pada anak-anak, karena pada saat itu otoritas dianggap penting. Penelitian Bandura mengenai boneka Bobo merupakan demonstrasi dari belajar observasional dan ditunjukkan bahwa anak cenderung terlibat dalam perlakuan yang bengis terhadap boneka setelah melihat orang dewasa di televisi melakukan hal tersebut pada boneka yang sama. Bagimanapun, anak mungkin akan melakukan peniruan bila perilaku model mendapat penguatan. Permasalahannya, seperti diteliti oleh Otto Larson (1968), bahwa 56% karakter dalam acara televisi anak mencapai tujuannya melalui tindakan kekerasan.
Teori belajar sosial Teori belajar sosial Reviewed by Ifta on December 09, 2015 Rating: 5

Teori perkembangan kognitif

December 09, 2015

Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan oleh Jean Piaget, seorang psikolog Swiss yang hidup tahun 1896-1980. Teorinya memberikan banyak konsep utama dalam lapangan psikologi perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan, yang bagi Piaget, berarti kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan melakukan operasi logis dalam representasi konsep yang berdasar pada kenyataan. Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya schemata skema tentang bagaimana seseorang mempersepsi lingkungannya dalam tahapan-tahapan perkembangan, saat seseorang memperoleh cara baru dalam merepresentasikan informasi secara mental. Teori ini digolongkan ke dalam konstruktivisme, yang berarti, tidak seperti teori nativisme (yang menggambarkan perkembangan kognitif sebagai pemunculan pengetahuan dan kemampuan bawaan), teori ini berpendapat bahwa kita membangun kemampuan kognitif kita melalui tindakan yang termotivasi dengan sendirinya terhadap lingkungan. Untuk pengembangan teori ini, Piaget memperoleh Erasmus Prize. Piaget membagi skema yang digunakan anak untuk memahami dunianya melalui empat periode utama yang berkorelasi dengan dan semakin canggih seiring pertambahan usia:
  • Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun)
  • Periode praoperasional (usia 2–7 tahun)
  • Periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun)
  • Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)
Periode sensorimotor
Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan untuk mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut. Periode sensorimotor adalah periode pertama dari empat periode. Piaget berpendapat bahwa tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting dalam enam sub-tahapan:
  1. Sub-tahapan skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan berhubungan terutama dengan refleks.
  2. Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai empat bulan dan berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.
  3. Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia empat sampai sembilan bulan dan berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.
  4. Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia sembilan sampai duabelas bulan, saat berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen walau kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek).
  5. Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas sampai delapan belas bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.
  6. Sub-tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama dengan tahapan awal kreativitas.
Tahapan praoperasional
Tahapan ini merupakan tahapan kedua dari empat tahapan. Dengan mengamati urutan permainan, Piaget bisa menunjukkan bahwa setelah akhir usia dua tahun jenis yang secara kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul. Pemikiran (Pra)Operasi dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan tindakan secara mental terhadap objek-objek. Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris: anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti mengumpulkan semua benda merah walau bentuknya berbeda-beda atau mengumpulkan semua benda bulat walau warnanya berbeda-beda.

Menurut Piaget, tahapan pra-operasional mengikuti tahapan sensorimotor dan muncul antara usia dua sampai enam tahun. Dalam tahapan ini, anak mengembangkan keterampilan berbahasanya. Mereka mulai merepresentasikan benda-benda dengan kata-kata dan gambar. Bagaimanapun, mereka masih menggunakan penalaran intuitif bukan logis. Di permulaan tahapan ini, mereka cenderung egosentris, yaitu, mereka tidak dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal tersebut berhubungan satu sama lain. Mereka kesulitan memahami bagaimana perasaan dari orang di sekitarnya. Tetapi seiring pendewasaan, kemampuan untuk memahami perspektif orang lain semakin baik. Anak memiliki pikiran yang sangat imajinatif di saat ini dan menganggap setiap benda yang tidak hidup pun memiliki perasaan.

Tahapan operasional konkrit
Tahapan ini adalah tahapan ketiga dari empat tahapan. Muncul antara usia enam sampai duabelas tahun dan mempunyai ciri berupa penggunaan logika yang memadai. Proses-proses penting selama tahapan ini adalah:
  1. Pengurutan—kemampuan untuk mengurutan objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya, bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang paling besar ke yang paling kecil.
  2. Klasifikasi—kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa semua benda hidup dan berperasaan)
  3. Decentering—anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih sedikit isinya dibanding cangkir kecil yang tinggi.
  4. Reversibility—anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya.
  5. Konservasi—memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda-benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh, bila anak diberi cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi cangkir lain.
  6. Penghilangan sifat Egosentrisme—kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (bahkan saat orang tersebut berpikir dengan cara yang salah). Sebagai contoh, tunjukkan komik yang memperlihatkan Siti menyimpan boneka di dalam kotak, lalu meninggalkan ruangan, kemudian Ujang memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Siti kembali ke ruangan. Anak dalam tahap operasi konkrit akan mengatakan bahwa Siti akan tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak walau anak itu tahu bahwa boneka itu sudah dipindahkan ke dalam laci oleh Ujang.
Tahapan operasional formal
Tahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada "gradasi abu-abu" di antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial. Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran dari tahap operasional konkrit.

Informasi umum mengenai tahapan-tahapan
Keempat tahapan ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
  • Walau tahapan-tahapan itu bisa dicapai dalam usia bervariasi tetapi urutannya selalu sama. Tidak ada ada tahapan yang diloncati dan tidak ada urutan yang mundur.
  • Universal (tidak terkait budaya)
  • Bisa digeneralisasi: representasi dan logika dari operasi yang ada dalam diri seseorang berlaku juga pada semua konsep dan isi pengetahuan
  • Tahapan-tahapan tersebut berupa keseluruhan yang terorganisasi secara logis
  • Urutan tahapan bersifat hirarkis (setiap tahapan mencakup elemen-elemen dari tahapan sebelumnya, tapi lebih terdiferensiasi dan terintegrasi)
  • Tahapan merepresentasikan perbedaan secara kualitatif dalam model berpikir, bukan hanya perbedaan kuantitatif
Proses perkembangan
Seorang individu dalam hidupnya selalu berinteraksi dengan lingkungan. Dengan berinteraksi tersebut, seseorang akan memperoleh skema. Skema berupa kategori pengetahuan yang membantu dalam menginterpretasi dan memahami dunia. Skema juga menggambarkan tindakan baik secara mental maupun fisik yang terlibat dalam memahami atau mengetahui sesuatu. Sehingga dalam pandangan Piaget, skema mencakup baik kategori pengetahuan maupun proses perolehan pengetahuan tersebut. Seiring dengan pengalamannya mengeksplorasi lingkungan, informasi yang baru didapatnya digunakan untuk memodifikasi, menambah, atau mengganti skema yang sebelumnya ada. Sebagai contoh, seorang anak mungkin memiliki skema tentang sejenis binatang, misalnya dengan burung. Bila pengalaman awal anak berkaitan dengan burung kenari, anak kemungkinan beranggapan bahwa semua burung adalah kecil, berwarna kuning, dan mencicit. Suatu saat, mungkin anak melihat seekor burung unta. Anak akan perlu memodifikasi skema yang ia miliki sebelumnya tentang burung untuk memasukkan jenis burung yang baru ini.

Asimilasi adalah proses menambahkan informasi baru ke dalam skema yang sudah ada. Proses ini bersifat subjektif, karena seseorang akan cenderung memodifikasi pengalaman atau informasi yang diperolehnya agar bisa masuk ke dalam skema yang sudah ada sebelumnya. Dalam contoh di atas, melihat burung kenari dan memberinya label "burung" adalah contoh mengasimilasi binatang itu pada skema burung si anak.

Akomodasi adalah bentuk penyesuaian lain yang melibatkan pengubahan atau penggantian skema akibat adanya informasi baru yang tidak sesuai dengan skema yang sudah ada. Dalam proses ini dapat pula terjadi pemunculan skema yang baru sama sekali. Dalam contoh di atas, melihat burung unta dan mengubah skemanya tentang burung sebelum memberinya label "burung" adalah contoh mengakomodasi binatang itu pada skema burung si anak.
Melalui kedua proses penyesuaian tersebut, sistem kognisi seseorang berubah dan berkembang sehingga bisa meningkat dari satu tahap ke tahap di atasnya. Proses penyesuaian tersebut dilakukan seorang individu karena ia ingin mencapai keadaan equilibrium, yaitu berupa keadaan seimbang antara struktur kognisinya dengan pengalamannya di lingkungan. Seseorang akan selalu berupaya agar keadaan seimbang tersebut selalu tercapai dengan menggunakan kedua proses penyesuaian di atas.

Dengan demikian, kognisi seseorang berkembang bukan karena menerima pengetahuan dari luar secara pasif tapi orang tersebut secara aktif mengkonstruksi pengetahuannya.
Isu dalam perkembangan kognitif
Isu utama dalam perkembangan kognitif serupa dengan isu perkembangan psikologi secara umum.
Tahapan perkembangan
•    Perbedaan kualitatif dan kuantitatif
Terdapat kontroversi terhadap pembagian tahapan perkembangan berdasarkan perbedaan kualitas atau kuantitas kognisi.
•    Kontinuitas dan diskontinuitas
Kontroversi ini membahas apakah pembagian tahapan perkembangan merupakan proses yang berkelanjutan atau proses terputus pada tiap tahapannya.
•    Homogenitas dari fungsi kognisi
Terdapat perbedaan kemampuan fungsi kognisi dari tiap individu
Teori perkembangan kognitif Teori perkembangan kognitif Reviewed by Ifta on December 09, 2015 Rating: 5

Teori belajar Behavioristik terlengkap

December 09, 2015

Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.

Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.

Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.

Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.
Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).

Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran.

Teori Belajar Menurut Thorndike
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).
Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.

Teori Belajar Menurut Watson
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.

Teori Belajar Menurut Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).

Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
 Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.

Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).
Teori Belajar Menurut Skinner

Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Analisis Tentang Teori Behavioristik

Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997).

Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.

Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.

Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping.

Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi.

Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:
  • Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara;
  • Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama;
  • Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.

Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.

Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.

Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.

Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.

Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.

Teori belajar Behavioristik terlengkap Teori belajar Behavioristik terlengkap Reviewed by Ifta on December 09, 2015 Rating: 5
Powered by Blogger.