Results for Pendidikan

Pengembangan profesi keguruan

December 08, 2015

 PENGEMBANGAN PROFESI KEGURUAN
BAB 1

PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Upaya peningkatan kualitas pendidikan dari tahun ke tahun selalu menjadi program pemerintah. Salah satunya dengan ditetapkannya UU. No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan dijelaskan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Kualitas pendidikan ditentukan oleh  penyempurnaan integral dari seluruh komponen pendidikan seperti kualitas guru, penyebaran guru yang merata, kurikulum, sarana dan prasarana yang memadai, suasana PBM yang kondusif, dan kualitas guru yang meningkat dan didukung oleh kebijakan pemerintah. Guru merupakan titik sentral peningkatan kualitas pendidikan yang bertumpu pada kualitas proses belajar mengajar. Oleh sebab itu peningkatan profesionalisme guru merupakan suatu keharusan. Guru profesional tidak hanya menguasai bidang ilmu, bahan ajar, dan metode yang tepat, akan tetapi mampu memotivasi siswa, memiliki keterampilan yang tinggi dan wawasan yang luas terhadap dunia pendidikan. Profesionalisme guru secara konsinten menjadi salah satu faktor terpenting dari mutu pendidikan. Guru yang profesional mampu membelajarkan murid secara efektif sesuai dengan kendala sumber daya dan lingkungan. Namun, untuk menghasilkan guru yang profesional juga bukanlah tugas yang mudah. Dewasa ini banyak sekali guru-guru diberbagai tingkat pendidikan yang masih jauh dari sikap profesional. Kebanyakan mereka masuk kesuatu tingkat sekolah tertentu masih mempunyai sikap acuh tak acuh. Diatara mereka hanya berkerja untuk mengajar saja tanpa memikirkan bagaimana mengajar yang baik, tanpa memikirkan bagaimana membuat administrasi pendidikan yang baik dan kadang-kadang juga hanya sekedar menjalankan tugas. Sehingga, proses belajar dan pembelajaran di negara kita masih jauh ketinggalan dengan negara berkembang lainnya. Oleh karena itu, kami perlu menyusun makalah dengan judul “Pengembangan Profesionalisme Guru”.


B.     Rumusan Masalah

Rumusan masalah penyusunan makalah ini adalah :
  1. Bagaimana langkah-langkah pengembangan profesionalisme guru selama
  2. pedidikan prajabatan?
  3. Bagaimana langkah-langkah pengembangan profesionalisme guru selama
  4. dalam jabatan?


C.     Tujuan Penulisan Makalah

  1. Menjelaskan berbagai langkah yang ditempuh oleh pemerintah dalam
  2. mengembangkan profesionalisme guru selama pendidikan prajabatan.
  3. Menjelaskan berbagai langkah yang sedang dilakukan oleh pemerintah
  4. dalam mengembangkan profesionalisme guru selama dalam jabatan.


BAB II

PEMBAHASAN


A.    Hakikat Pengembangan Profesionalisme Guru

Pengembangan profesionalisme guru menjadi perhatian secara global karena guru memiliki tugas dan peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu pengetahuan dan teknologi kepada siswa, melainkan juga membentuk sikap dan jiwa yang mampu bertahan dalam era hiperkompetisi. Tugas guru adalah membantu siswa agar mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan serta desakan yang berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan siswa ini meliputi aspek-aspek kepribadian terutama aspek intelektual, sosial, emosional, dan keterampilan. Tugas mulia itu menjadi berat karena bukan saja guru harus mempersiapkan generasi muda memasuki abad pengetahuan, melainkan harus mempersiapkan diri agar tetap eksis, baik sebagai individu maupun sebagai profesional.Arifin (2000) mengemukakan guru Indonesia yang profesional dipersyaratkan mempunyai:
  1. Dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan di abad 21.
  2. Penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia.
  3. Pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru merupakan profesi yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara LPTK dengan praktek pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan disebabkan terputusnya program pre-service dan in-service karena pertimbangan birokratis yang kaku atau manajemen pendidikan yang lemah.
Dengan adanya persyaratan profesionalisme guru ini, perlu adanya paradigma baru untuk melahirkan profil guru Indonesia yang profesional di abad 21 yaitu:
  • Memiliki kepribadian yang matang dan berkembang.
  • Penguasaan ilmu yang kuat.
  • Keterampilan untuk membangkitkan siswa kepada sains dan teknologi.
  • Pengembangan profesi secara berkesinambungan.
Keempat aspek tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan dan ditambah dengan usaha lain yang ikut mempengaruhi perkembangan profesi guru yang profesional.Apabila syarat-syarat profesionalisme guru di atas itu terpenuhi akan mengubah peran guru yang tadinya pasif menjadi guru yang kreatif dan dinamis. Hal ini sejalan dengan pendapat Semiawan (1991) bahwa pemenuhan persyaratan guru profesional akan mengubah peran guru yang semula sebagai orator yang verbalistis menjadi berkekuatan dinamis dalam menciptakan suatu suasana dan lingkungan belajar yang invitation learning environment. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, guru memiliki multi fungsi yaitu sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator, transformator, change agent, inovator, konselor, evaluator, dan administrator (Soewondo, 1972 dalam Arifin 2000).

          Berbagai faktor-faktor penting yang mempengaruhi sikap profesionalisme guru Indonesia yang harus ditangani dengan segera. Akadum (1999) menyatakan dunia guru masih terselingkung dua masalah yang memiliki mutual korelasi yang pemecahannya memerlukan kearifan dan kebijaksanaan beberapa pihak terutama pengambil kebijakan; (1) profesi keguruan kurang menjamin kesejahteraan karena rendah gajinya. Rendahnya gaji berimplikasi pada kinerjanya; (2) profesionalisme guru masih rendah. Selain faktor di atas faktor lain yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru disebabkan oleh antara lain; (1) masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara utuh. Hal ini disebabkan oleh banyak guru yang bekerja di luar jam kerjanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga waktu untuk membaca dan menulis untuk meningkatkan diri tidak ada; (2) belum adanya standar profesional guru sebagaimana tuntutan di negara-negara maju; (3) kemungkinan disebabkan oleh adanya perguruan tinggi swasta sebagai pencetak guru yang lulusannya asal jadi tanpa mempehitungkan outputnya kelak di lapangan sehingga menyebabkan banyak guru yang tidak patuh terhadap etika profesi keguruan; (4) kurangnya motivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri karena guru tidak dituntut untuk meneliti sebagaimana yang
diberlakukan pada dosen di perguruan tinggi.


B.     Upaya Peningkatan Profesionalisme Guru

1.      Upaya Peningkatan Profesionalisme Guru Selama Pendidikan Prajabatan.
Dalam pendidikan prajabatan calon guru dididik dalam berbagai pengetahuan, sikap, dan ketrampilan yang diperlukan dalam pekerjaan nanti. Karena, tugasnya yang bersifat unik, guru selalu menjadi panutan bagi siswanya, dan bahkan bagi masyarakat sekelilingnya. Oleh sebab itu bagaimana guru bersikap terhadap pekerjaan dan jabatannya selalu memperhatikan siswa dan masyarakat.Pembentukan sikap yang baik mungkin muncul begitu saja, tetapi harus dibina sejak calon guru memulai pendidikannya di lembaga pendidikan guru. Berbagai usaha dan latihan, contoh-contoh dan aplikasi penerapan ilmu, ketrampilan dan bahkan sikap profesioanal dirancang dan dilaksanakan selama calon guru berada dalam pendidikan prajabatan. Sering pembentukan sikap tertentu terjadi sebagian hasil sampingan  dari pengetahuan yang diperoleh oleh calon guru. Sikap teliti dan disiplin misalnya, dapat terbentuk dari hasil sampingan dari hasil belajar matematika yang benar, karena belajar matematika selalu menuntut ketelitian dan kedislinan penggunanaan aturan dan prosedur yang telah ditentukan.  Pihak pemerintah juga telah berupaya untuk meningkatkan profesiomalisme guru sebelum masa jabatan diantaranya meningkatkan kualifikasi dan persyaratan jenjang pendidikan yang lebih tinggi bagi tenaga pengajar mulai tingkat persekolahan sampai perguruan tinggi. Program penyetaaan Diploma II bagi guru-guru SD, Diploma III bagi guru-guru SLTP dan Strata I (sarjana) bagi guru-guru SLTA. Meskipun demikian penyetaraan ini tidak bermakna banyak, kalau guru tersebut secara entropi kurang memiliki daya untuk melakukan perubahan.


2.      Upaya Peningkatan Profesionalisme Guru Selama Jabatan
Profesionalisme guru juga harus ditingkatkan dan diadakan pada guru-guru selama jabatan. Berbagai Langkah-langkah dalam peningkatan profesionalisme guru sudah banyak dilakukan oleh pemerintah. Selain diadakannya penyetaraan guru-guru, upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah program sertifikasi. Selain sertifikasi upaya lain yang telah dilakukan di Indonesia untuk meningkatkan profesionalisme guru, misalnya PKG (Pusat Kegiatan Guru, dan KKG (Kelompok Kerja Guru) yang memungkinkan para guru untuk berbagi pengalaman dalam memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam kegiatan mengajarnya (Supriadi, 1998).Penjabaran dari masing-masing program diatas yang sedang dilaksanakan olah pemerintah dapat diterangkan sebagai berikut.


a.   Peningkatan Kualifikasi
Dasar Hukum
UU Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 42 ayat (1) Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. UU Guru dan Dosen Pasal 8 Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pasal 9 Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat.


Prinsip dan Strategi Pelaksanaan

1.      Prinsip
  • Tidak meninggalkan tugas
  • Orientasi kepada mutu
  • Menghargai pelatihan, prestasi akademik, dan pengalaman mengajar serta prestasi tertentu

2.      Strategi peningkatan kualifikasi
  • Melalui jalur formal
  • Konvensional
  • Universitas Terbuka (Belajar Jarak Jauh)
  • Pendidikan Jarak Jauh Pendekatan ICT
  • Pendidikan Jarak Jauh Pola PKG

b.      Sertifikasi Guru
Dasar Hukum
UU Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 43, ayat (2) Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi. UU Guru dan Dosen Pasal 8: Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pasal 11: Sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan.Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah.Sertifikasi pendidik dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel.

c.       Peningkatan Kompetensi Guru
Dasar HukumUndang-Undang Guru dan Dosen Pasal 8: Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pasal 9: Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.Kompetensi guru



Program Peningkatan Kompetensi
  1. Peningkatan Kompetensi Guru Keunggulan Lokal
  2. Pengembangan Kompetensi Kepribadian dan Sosial
  3. Peningkatan Kompetensi Guru Pembina Olimpiade
  4. Peningkatan Kemampuan Mengembangkan KTSP
  5. Peningkatan Kompetensi Guru Bertaraf Internasional
  6. Peningkatan Kompetensi Guru pada Bidang ICT
  7. Peningkatan Profesionalisme Guru Berkelanjutan melalui
  8. Perkuatan KKG dam MGMP
  9. Kemitraan Guru (bidang kejuruan, daerah terpencil)
  10. Peningkatan Kompetensi Guru Bahasa (Jepang dan Mandarin)
  11. Peningkatan Kompetensi Guru PLB
  12. Peningkatan Kemampuan Mengembangkan KTSP
  13. Peningkatan Kompetensi Guru Berprestasi

d.      Pengembangan Karir Guru
Dasar Hukum
UU Guru dan Dosen, Pasal 32 : (1) Pembinaan dan pengembangan guru meliputi pembinaan dan pengembangan profesi dan karier. (2) Pembinaan dan pengembangan profesi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. (3) Pembinaan dan pengembangan profesi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui jabatan fungsional. (4) Pembinaan dan pengembangan karier guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penugasan, kenaikan pangkat, dan promosi
  • Program Pengembangan Karir Guru
  • Pengembangan Penelitian Tindakan Kelas
  • Bimbingan Penulisan Karya Tulis Ilmiah
  • Revisi Kepmenpan tentang Jabatan Fungsional Guru
  • Penyusunan Pedoman Impassing guru non-PNS
  • Penyusunan kajian dan perumusan pembinaan karir guru yang bersifat horizontal dan vertikal

e.       Penghargaan dan Perlindungan Guru

Program penghargaan dan pelindungan guru dapat dilihat dari table berikut.

Program Penghargaan dan Perlindungan guru dapat dilaksanakan dengan

beberapa cara diantaranya:
  1. Penghargaan guru berprestasi Tingkat Nasional
  2. Penghargaan guru berdedikasi di Daerah Khusus/ Terpencil
  3. Penghargaan guru berdedikasi Tingkat Nasional
  4. Penghargaan pendidikan Tingkat Nasional
  5. Lomba Keberhasilan Guru dalam Pembelajaran Tingkat Nasional.

f.       Perencanaan Kebutuhan Guru

Perencanaan dan pemerataan kebutuhan guru telah diterapkan beberapa langkah oleh pemerintah diataranya:

  • Setiap 1 orang guru mapel dengan beban mengajar wajib minimal 24 jam pelajaran perminggu.
  • Guru yang mengajar kurang dari 24 jam pelajaran per minggu, diserahi tugas mengajar mapel lain sesuai dgn jurusan pendidikannya atau diserahi mengajar di sekolah lain untuk mengisi kekurangannya.
  • Kepala sekolah wajib mengajar tatap muka 6 jam pelajaran per minggu atau memberikan bimbingan konseling kepada sekurang-kurangnya 40 siswa.
  • Wakasek wajib mengajar sekurang-kurangnya 12 jam pelajaran per minggu atau memberikan bimb. Konseling kepada sekurang-kurangnya 70 siswa.
  • Guru BK membimbing 150 – 225 siswa (1 sekolah minimal punya 1 guru BK)
  • Guru agama disesuaikan dengan pendidikan agama yang diajarkan.
  • Wakasek minimum 1 orang dan maksimum 4 orang
              1 wakasek untuk rombel kurang dari 9
              2 wakasek untuk rombel 10 – 18
              3 wakasek untuk rombel 19 – 27
              4 wakasek untuk rombel lebih dari 27

Bagi guru-guru yang mengajarnya kurang dari 24 jam dapat diatasi dengan langkah sebagai berikut:
  1. Mengajar mata pelajaran yang sama pada sekolah lain terdekat.
  2. Mengajar mata pelajaran lain dari rumpun mata pelajaran yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya di sekolah yang sama.
  3. Melakukan pemerataan guru dari sekolah-sekolah yang kelebihan guru ke sekolah-sekolah yang kekurangan guru baik dalam kabupaten/kota maupun antar kabupaten/kota.
  4. Melakukan penyesuaian kompetensi bagi guru yang mismacth agar guru tersebut kompeten untuk mengajar mata pelajaran dimaksud.
  5. Membuat regulasi bersama pemerintah daerah untuk mengatur pemindahan guru dari sekolah yang berlebih gurunya ke sekolah yang kekurangan guru.
  6. Memperketat pengawasan bagi guru yang mengajar tidak memenuhi kewajiban mengajar per minggu 24 jam selain Kepala Sekolah dan Wakil Kepala Sekolah.

g.      Tunjangan Guru

Tunjangan profesi guru diberikan kepada guru profesional yang dibuktikan dengan telah memiliki sertifikat pendidik. Besarnya tunjangan profesi diberikan dengan jumlah satu kali gaji pokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain tunjangan profesi dikenal juga tunjangan khusus. Adapun guru yang mendapat tunjangan khusus adalah mereka yang bertugas di daerah khusus. Yang dimaksud daerah khusus adalah sebagai berikut.
  1. Sekolah di daerah yang terpencil atau terbelakang.
  2. sekolah yang berlokasi di daerah dengan kondisi masyarakat adat yang terpencil.
  3. Sekolah yang berlokasi di daerah perbatasan dengan negara lain.
  4. Sekolah berlokasi di daerah yang mengalami bencna alam, bencana sosial, atau daerah yang berada dalam keadaan darurat.

h.      Maslahat Tambahan

Jenis maslahat tambahan dapat berupa:

  • Penghargaan bagi guru akhir masa bakti;
  • Penghargaan bagi guru berprestasi atau guru amat berdedikasi.
  • Pemberian bantuan pendidikan bagi putra/putri guru berprestasi, berdedikasi, dan guru teladan.
  • Pembangunan rumah dinas bagi guru
Profesionalisasi harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Dalam proses ini, pendidikan prajabatan, pendidikan dalam jabatan termasuk penataran, pembinaan dari organisasi profesi dan tempat kerja, penghargaan masyarakat terhadap profesi keguruan, penegakan kode etik profesi, sertifikasi, secara bersama-sama menentukan pengembangan profesionalisme seseorang termasuk guru.



BAB III

PENUTUP
A.    Kesimpulan

Pengembangan profesionalisme guru merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan, mengingat guru sangat berperan dalam dunia pendidikan. Beberapa upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengembangkan profesionalisme guru baik selama pendidikan prajabatan maupun selama jabatan yakni melakukan penyetaraan guru, penataran atau pelatihan, penegakan kode etik profesi, peningkatan kualifikasi, sertifikasi guru, peningkatan kompetensi guru, pengembangan karir guru, penghargaan dan perlindungan guru, perencanaan kebutuhan guru, tunjangan guru, serta penghargaan bagi guru yang berprestasi.    

B.     Saran

Meskipun pemerintah telah melakukan upaya-upaya untuk mengembangkan profesionalisme guru, jika secara individu guru tersebut tidak meningkatkan kompetensinya sebagai guru yang professional, maka dunia pendidikan kita akan tetap tertinggal.


Daftar Pustaka

Syamsudin Abin & Nandang Budiman. (2006). Profesi Keguruan 2. Jakarta: Universitas Terbuka.


Pengembangan profesi keguruan Pengembangan profesi keguruan Reviewed by Ifta on December 08, 2015 Rating: 5

Sikap profesional keguruan

December 08, 2015

SIKAP PROFESIONAL KEGURUAN


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

            Guru merupakan ujung tombak keberhasilan proses pendidikan di sekolah maka pembinaan dan pengembangan profesi guru dipandang perlu diperhatikan sebagai wujud komitmen dalam melakukan pembenahan pola pendidikan agar mencapai mutu pendidikan sesuai harapan.

            Melihat begitu pentingnya peran guru dalam proses pendidikan dan sekaligus sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan proses pendidikan di sekolah, guru dituntut untuk memiliki sikap yang positif terhadap jabatannya. Guru merupakan suatu jabatan yang memerlukan keahlian, tanggung jawab dan jiwa rela memberikan layanan sosial di atas kepentingan pribadi. Sesuai dengan tuntutan jabatan guru tersebut, maka jabatan guru merupakan jabatan “profesi”. Oleh karena itu, tujuan program pendidikan akan dapat dicapai oleh guru yang mempunyai sikap profesional yang positip.

            Sikap profesional tidak akan tercapai tanpa didukung oleh beberapa faktor yang mempengaruhinya, salah satunya adalah lingkungan (baik lingkungan tempat tinggal maupun sekitar sekolah). Faktor lain yang dapat mendukung terbentuknya sikap profesional adalah status kepegawaian (negeri maupun swasta), masa kerja sebagai guru, latar belakang pendidikan serta jenis kelamin.

            Ini merupakan bentuk respon terhadap program kebijakan bidang pendidikan, paling tidak kehadirannya mengingatkan kita betapa pentingnya peran guru dan betapa pentingnya sikap seorang guru yang professional serta berpengalaman yang tinggi sehingga saatnya nanti segala yang dicita-citakan bersama tercapai dimana guru mampu memberikan yang terbaik bagi kemajuan pendidikan melalui wujud keprofesionalan dan pengalaman yang tidak diragukan lagi. Itu semua akan terjadi apabila kita mau belajar dan menganalisis berbagai sikap yang dimiliki oleh seorang guru yang mempunyai keteladanan yang patut dijadikan figur dan contoh anak didiknya demi kemajuan dunia pendidikan di masa yang akan datang.


B.     Rumusan Masalah
  1. yang dimaksud dengan Pengertian Profesi, Hakikat Profesi, Ciri-Ciri Profesi, pengertian sikap profesi keguruan?
  2. Apa saja sasaran sikap profesional?
  3. Bagaimana pengembangan sikap profesional?
  4. Apa yang dimaksud dengan kompetensi guru profesional?
  5. Bagaimana kode etik profesi keguruan?

C.    Tujuan
  1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan pengertian profesi, hakikat profesi, cirri-ciri profesi, pengertian sikap profesi keguruan.
  2. Untuk mengetahui sasaran sikap professional.
  3. Untuk mengetahuipengembangan sikap professional.
  4. Untuk mengetahui kompetensi guru professional.
  5. Untuk mengetahui kode etik profesi keguruan.


BAB II
PEMBAHASAN
SIKAP PROFESSIONAL KEGURUAN
A.      Pengertian Profesi, Hakikat Profesi, Ciri-Ciri Profesi, pengertian sikap profesi keguruan

1.      Pengertian Profesi
  • Profesi adalah  suatu pekerjaan  yang memerlukan pengetahuan dan keterampilan yang berkualitas tinggi dalam mengabdi untuk mencapai kesejahteraan.
  • Melayani masyarakat merupakan karir yang akan dilaksanakan sepanjang hayat tidak berganti-ganti pekerjaan.
  • Memerlukan bidang ilmu dan keterampilan tertentu diluar jangkauan khalayak ramai tidak semua orang dapat melakukannya.
  • Menggunakan hasil penelitian dan aplikasi dari teori ke praktek.
  •  Memerlukan pelatihan khusus dengan waktu yang panjang.
Dari beberapa pengertian profesi diatas yang dimaksud dengan profesi adalah suatu pekerjaan yang dalam melaksanakan tugasnya memerlukan/menuntut keahlian , menggunakan teknik-teknik ilmiah, serta dedikasi yang tinggi. Keahlian tersebut diperoleh dari lembaga pendidikan yang khusus diperuntukkan sesuai dengan profesi kurikulum yang dapat dipertanggungjawabkan.


2.      Hakikat Profesi
  • Melakukan pelayanan dan pengabdian yang dilandasi dengan kemampuan dan filsafat yang baik dan mantap.
  • Menampakkan keterampilanteknisyang didukung oleh pengetahuan sikap kepribadian yang dilandasi oleh nilai-nilai norma-norma perilaku anggota.


3.      Ciri-Ciri Profesi

       Ciri-ciri profesi yaitu adanya:
  • Standar unjuk kerja
  • Lembaga pendidikan khusus untuk menghasilkan pelaku profesi tersebut dengan standar kualitas akademik yang bertanggung jawab
  • Organisasi profesi
  • Etika dan kode etik profesi
  • Sistem imbalan
  • Apabila seseorang berbicara seperti mempunyai daftar teori yang sistematis.
  • Kewenangan diakui oleh masyarakat.

4.      Pengertian sikap profesi keguruan

Guru sebagai pendidik professional mempunyai citra yang baik di masyarakat apabila dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia layak menjadi panutan atau teladan masyarakat sekelilingnya. Masyarakat terutama akan melihat bagaimana sikap dan perbuatan guru, apakah memang ada yang patut diteladani atau tidak. Bagaimana guru meningkatkan layanannya, meningkatkan pengetahuannya, dan dorongan kepada anak didiknya serta bagaimana cara guru berpakain, berbicara serta cara bergaul baik dengan siswa, teman-temannya atau anggota masyarakat, sering menjadi perhatian masyarakat luas.

Perilaku guru yang berhubungan dengan profesinya berhubungan dengan bagaimana pola tingkah laku guru dalam memahami, menghayati serta mengamalkan sikap kemampuan dan sikap profesionalnya. Pola tingkah laku guru yang berhubungan dengan sikap profesional keguruan terhadap: (1) Peraturan Perundangan-undangan, (2) organisasi Profesi, (3) Teman Sejawat, (3) Anak Didik, (5) Tempat Kerja, (6) Pimpinan, dan (7) Pekerjaan.


B.       Sasaran Sikap Profesional

1.    Sikap terhadap peratuan perundang-undangan

       Pada butir 9 kode etik guru Indonesia disebutkan bahwa:

Guru melaksanakan segala kebijakan pemerintah untuk bidang pendidikan. Kebijakan pendidikan di Negara kita dipegang oleh pemerintah, oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan ketentuan dan peraturan merupakan kebijakan yang akan dilaksanakan oleh aparatnya.


2.    Sikap terhadap organisasi profesi

Guru bersama – sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian. PGRI sebagai organisasi profesi memerlukan pembinaan agar lebih berdaya guna dan berhasil sebagai wadah untuk membawakan misi dan memantapkan profesi guru. Maka dari itu setiap orang harus memberikan waktu sebagiannya untuk kepentingan pembinaan profesinya dan semua waktu dan tenaga yang diberikan oleh para anggota ini dikoordinasikan oleh para pejabat organisasi tersebut, sehingga pemanfaatannya mnjadi efektif dan efisien.


3.      Sikap terhadap teman sejawat

Dalam ayat 7 kode etik gutu disebutkan bahwa guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan social. Itu berarti guru hendaknya menciptakan dan memelihara hubungan sesama guru dalam lingkungan kerjanya dan guru hendaknya memelihara semangat kekeluargaan dan kesetiakawanan social di dalam maupun di luar lingkungan sekolah.

4.      Sikap terhadap anak didik

Telah dijelaskan bahwa guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia sutuhnya yang berjiwa Pancasila. Tujuan pendidikan nasional dengan jelas dapat dibaca dalam UU No.2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yakni membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila.

          Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu : memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian : proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.

          Sebuah istilah yang menjadi slogan guru sebagai cerminan bagi anak didik ” guru kencing berdiri murid kencing berlari “, memberikan pesan moral kepada guru agar bertindak dengan penuh pertimbangan. Ketika guru menanamkan nilai dan contoh karakter dan sifat yang tidak baik, maka jangan salahkan murid ketika berprilaku lebih dari apa yang guru lakukan.

          Dalam mendidik, guru harus dengan ikhlas dalam bersikap dan berbuat serta mau memahami anak didiknya dengan segala konsekuensinya. Semua kendala yang terjadi dan dapat menjadi penghambat proses pendidikan baik yang berpangkal dari perilaku anak didik maupun yang bersumber dari luar diri anak didik harus dapat dihilangkan bukan dibiarkan. Keberhasilan dalam pendidikan lebih banyak sitentukan oleh guru dalam mengelola kelas. Dalam mengajar, guru harus pandai menggunakan pedekatan secara arif dan bijaksana bukan sembarangan yang bisa merugikan anak didik.


5.      Sikap terhadap tempat kerja

Suasana yang harmonis disekolah tidak akan terjadi bila personal yang terlibat didalamnya tidak menjalin hubungan yang baik diantara sesamanya. Penciptaan suasana kerja memang harus dilengkapi dengan terjalinnya hubungan yang baik denagn orang tua dan masyarakat sekitarnya. Ini dimaksudnya untuk membina peran serta rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan.


6.      Sikap terhadap pemimpin

Dalam kerja sama yang dituntut pemimpin tersebut diberikan berupaya tuntutan akan kepatuhan dalam melaksanakan arahan dan petunjuk yang diberikan mereka. Kerja sama juga dapat diberikan dalam bentuk usulan dan kritis yang membangun demi pencapaian tujuan yang telah digariskan bahwa sikap seorang guru terhadap pemimpin harus positif, dalam pengertian harus bekerja sama dalam mensukseskan program yang sudah disepakati, baik di sekolah maupun diluar sekolah.

7.      Sikap terhadap pekerjaan

Kode etik 6 dituntut guru baik secara pribadi maupun secara kelompok untuk meningkatkan mutu pribadi maupun kelompok untuk selalu meningkatkan mutu dan martabat profesinya. Profesi guru berhubungan dengan anak didik yang mempunyai persamaan dan perbedaan yang melayaninya harus memerlukan kesabaran dan ketelatenan yang tinggi, terutama bila berhubungan dengan peserta didik yang masih kecil. Mengingat peranan guru dalam setiap upaya peningkatan mutu, relevansi, dan efisiensi pendidikan, maka peningkatan profesionalisme guru merupakan kebutuhan. Mutu pendidikan bukan hanya ditentukan oleh guru, melainkan oleh mutu masukan (siswa), sarana manajemen, dan faktor-faktor eksternal lainnya. Akan tetapi seberapa banyak siswa mengalami kemajuan dalam belajarnya, banyak tergantung kepada kepiawaian guru dalam membelajarkan siswa.


C.      Pengembangan Sikap Profesional

Dalam meningkatkan mutu baik mutu profesional maupun layanannya, guru harus meningkatkan sikap profesionalnya. Hal tersebut dapat dilakukan baik dalam pendidikan prajabatan maupun setelah bertugas, yaitu :

1.         Pengembangan sikap selama pendidikan prajabatan
Calon guru dididik dalam berbagai pengetahuan, sikap dan keterampilan yang diperlukan dalam pekerjaannya nanti. Merupakan pendidikan persiapan mahasiswa untuk meniti karir dalam bidang pendidikan dan pengajaran.

Menurut Page & Thomas pendidikan prajabatan merupakan sebuah istilah yang paling lazim digunakan lembaga pendidikan keguruan, yang merujuk pada pendidikan dan pelatihan yang dilakukan oleh lembaga jenjang universitas pendidikan untuk menyiapkan mahasiswa berkarir dalam bidang pengajaran.

2.      Pengembangan sikap selama dalam jabatan
Pengembanagn sikap profesional tidak berhenti apabila calon guru selesai mendapatkan pedidikan prajabatan. Banyak usaha yang dapat dilakukan dengan cara formal mlalui kegiatan mengikuti penataran, lokakarya, seminar, atau kegitan ilmiah lainnya.


D.   Kompetensi Guru Profesional

1.      Proses Belajar Mengajar

                Seiring dengan banyaknya keluhan dari siswa menyangkut permasalahan dalam kesulitan belajar akibat kondisi sosial ekonomi yang berdampak secara psikologis menyebabkan kegagalan siswa karena tidak mampu dalam mengatasi permasalahan atau kesulitan yang dihadapi. Dengan adanya kondisi ini, maka perlu adanya langkah-langkah konkret dari pihak sekolah yaitu dalam bentuk peningkatan pelayanan pendidikan yang mampu memberi kesempatan berkembang secara optimal bagi setiap siswa.

  Dalam rangka peningkatan kemampuan kompetensi siswa serta terarahnya perubahan perilaku positip inilah, maka perlu adanya upaya optimal dalam sistem belajar mengajar. Salah satunya adalah berupa program belajar melalui program pengembangan bakat siswa melalui pendampingan guru diklat pada proses belajar mengajar dikelas maupun pembelajaran diluar kelas. Dengan demikian, sekolah mendapat tugas baru tanpa mengurangi arti program perluasan kurikulum yang formal. Program belajar melalui program pengembangan bakat siswa melalui pendampingan guru diklat pada proses belajar mengajar selanjutnya diharapkan menjadi salah satu upaya nyata dalam membantu mengatasi pemasalahan/ kesulitan belajar siswa dan mampu mendorong perkembangan siswa mencapai harapan yang dinginkan.


2.      Peran Guru Dalam Proses Belajar Mengajar

      Dalam proses belajar-mengajar, guru menempati posisi penting dan penentu berhasil-tidaknya pencapaian tujuan suatu proses pembelajaran. Sekalipun proses pembelajaran telah menggunakan berbagai model pendekatan dan metode yang lebih memberi peluang siswa aktif, kedudukan dan peran guru tetap penting dan menentukan. Penguasaan metode pembelajaran oleh seorang guru memiliki arti lebih penting lagi dan menentukan keberhasilan suatu proses pembelajaran daripada hanya penguasaan materi.

      Posisi dan peran guru jauh lebih penting dan menentukan atas segalanya dalam proses belajar-mengajar, guru menempati posisi penting dan penentu berhasil-tidaknya pencapaian tujuan suatu proses pembelajaran. Sekalipun proses pembelajaran telah menggunakan berbagai model pendekatan dan metode yang lebih memberi peluang siswa aktif, kedudukan dan peran guru tetap penting dan menentukan. atas segalanya. Materi, metode, media, dan sumber pembelajaran, semuanya menjadi tidak bermakna apabila guru tidak mampu memerankan tugasnya dengan baik. Guru merupakan ujung tombak sekaligus dirigen yang berperan memimpin “pertunjukan orkestra pembelajaran”.

Oleh karena itu pula, pembinaan dan mempersiapkan calon guru yang profesional melalui berbagai pelatihan dan studi lanjutan sangat penting dan strategis. Dalam konteks ini, seorang guru pernah bertutur, jadilah guru atau tidak sama sekali. Jadilah guru dengan berbekal kompetensi dan profesi sebagai guru, bila tidak, lebih baik tidak sama sekali. Peran dan profesi guru bukanlah permainan. Setiap orang bisa menjadi atau menempati posisi sebagai pendidik. Orang tua, disadari ataupun tidak, adalah pendidik bagi anak-anaknya. Guru adalah pendidik profesional. Guru, sebagai pendidik di sekolah, telah dipersiapkan secara formal dalam lembaga pendidikan guru. Ia juga telah dibina untuk memiliki kepribadian sebagai pendidik. Lebih dari itu, ia juga telah diangkat dan diberi kepercayaan oleh masyarakat untuk menjadi guru, bukan sekadar oleh surat keputusan dari pejabat yang berwenang.


3.      Kompetensi Profesionalisme Guru

Kompetensi penting jabatan guru tersebut adalah Kompetensi profesional, kompetensi pada bidang substansi atau bidang studi, kompetensi bidang pembelajaran, metode pembelajaran, sistem penilaian, pendidikan nilai dan bimbingan. Kompetensi sosial, kompetensi pada bidang hubungan dan pelayanan, pengabdian masyarakat. Guru terpanggil untuk bersedia belajar bagaimana mengajar dengan baik dan menyenangkan peserta didik dan terpanggil untuk menemukan cara belajar yang tepat. Menjadi guru bukan hanya suatu profesi yang ditentukan melalui uji kompentensi dan sertifikasi saja, tetapi menyangkut dengan hati, artinya sejak semula mereka sudah bercita-cita menjadi guru, guru yang mengenal dirinya, dan sebagai panggilan tugas kemanusian yang mulia yang diikuti dengan penghargaan yang profesional pula. Kata Kunci : Guru berkompetensi, Sertifikasi, dan profesional

Beberapa kemampuan profesional yang harus dimiliki seorang guru, pada garis besarnya adalah :
  • Kemampuan penguasaan materi/bahan pelajaran
  • Kemampuan perencanaan program proses belajar-mengajar
  • Kemampuan pengelolaan program belajar-mengajar
  • Kemampuan dalam pelaksanaan proses belajar-mengajar
  • Kemampuan penggunaan media dan sumber pembelajaran
  • Kemampuan pelaksanaan evaluasi dan penilaian prestasi siswa
  • Kemampuan program bimbingan dan penyuluhan
  • Kemampuan dalam pelaksanaan diagnosis kesulitan belajar siswa
  • Kemampuan pelaksanaan administrasi kurikulum atau administrasi guru.

Seorang guru juga harus memiliki kemampuan sosial dan personal. Kemampuan sosial, yaitu kemampuan menyesuaikan diri dengan tuntutan kerja dan lingkungan sekitar. Sementara kemampuan personal mencakup:
  • Penampilan sikap yang positif terhadap keseluruhan tugasnya sebagai guru dan terhadap keseluruhan situasi pendidikan.
  • Pemahaman, penghayatan, dan penampilan nilai-nilai yang sebaiknya dimiliki guru.
  • Penampilan untuk menjadikan dirinya sebagai anutan dan teladan para siswanya.
Di samping itu, guru harus mampu memerankan fungsi sosial kultur guru, yaitu sebagai komunikator. Menyediakan sumber informasi, menjaring informasi, mengolah informasi, dan menyampaikannya kepada siswa sehingga mereka memahami isi dan maksud informasi tersebut. Kedua, guru sebagai inovator, yaitu melakukan seleksi informasi bukan saja didasarkan nilai informasi generasi yang lampau, juga pada kemungkinan relevansi dan nilainya bagi generasi yang sedang tumbuh. Dalam hal ini, seorang pendidik harus memasukkan aspek masa depan ketika menyeleksi informasi tersebut. Ketiga, guru sebagai emansipator, yaitu membantu membawa individu atau kelompok ke tingkat perkembangan kepribadian lebih tinggi, dalam hal sikap ilmu pengetahuan dan keterampilan yang memungkinkan mereka dapat berdiri sendiri dan membantu sesamanya.

Dengan sejumlah kompetensi dan profesi keguruan di atas, seorang guru diharapkan mampu memiliki sikap: Di depan menjadi teladan, di tengah membangun karsa, membangkitkan semangat dan kreativitas, serta di belakang memberi memotivasi, mengawasi, dan mengayomi.


4.      Peran Guru dalam Evaluasi Pembelajaran

Evaluasi adalah proses memperoleh informasi untuk membentuk kesimpulan dalam pengambilan keputusan. Informasi yang diperlukan untuk kepentingan evaluasi dijaring dengan teknik-teknik inkuiri, observasi, analisis, tes. Pemilihan teknik yang digunakan didasarkan atas jenis informasi yang harus diungkap sehingga dalam suatu evaluasi bisa digunakan berbagai teknik sekaligus. Pengolahan hasil pengukuran atas hasil belajar dimaksudkan untuk mengevaluasi proses dan hasil belajar.


E.   Kode Etik Profesi Keguruan

                 Kode Etik merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku profesional yang dijunjung tinggi, diamalkan dan diamankan oleh setiap profesional. Memperbincangkan profesi tanpa mengkaitkannya dengan persoalan etika bisa diibaratkan sebagai memperbincangkan pergaulan lelaki-perempuan tanpa mengkaitkannya dengan nilai moral sebuah perkawinan; atau memperbincangkan hubungan orang-tua dengan anak-anak kandungnya tanpa mengindahkan nilai etika kesantunan, norma adat istiadat serta ajaran agama yang telah mengaturnya. Segala macam bentuk pelanggaran serta penyimpangan terhadap tata pergaulan tersebut dianggap sebagai tindakan yang tidak bermoral, tidak etis dan lebih kasar lagi bisa dikatakan sebagai tindakan yang tidak beradab.

            Istilah etik dan moral merupakan istilah-istilah yang bersifat mampu dipertukarkan satu dengan yang lain. Keduanya memiliki konotasi yang sama yaitu sebuah pengertian tentang salah dan benar , atau buruk dan baik.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Profesionalisme guru dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah kepuasan kerja, supervisi pendidikan dan komitmen. Kepuasan kerja diartikan sebagai cerminan sikap dan perasaan dari individu terhadap pekerjaannya, atau keadaan emosional menyenangkan dan tidak menyenangkan para pegawai memandang pekerjaan mereka (Handoko, 2001). Kepuasan kerja yang tinggi sangat diperlukan dalam setiap usaha kerjasama guru untuk mencapai tujuan sekolah, yang seperti kita ketahui bahwa pencapaian tujuan sekolah ini adalah sesuatu yang diidam-idamkan. Tetapi sebaliknya dengan guru yang memiliki kepuasan kerja yang rendah akan sulit mencapai hasil yang baik.

            Etika profesional seorang guru sangat dibutuhkan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan nasional. Seorang guru baru dapat disebut profesional jika telah menaati Kode Etik Keguruan yang telah ditetapkan.



DAFTAR PUSTAKA


Kosasi,Raflis. 1994. Profesi keguruan. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Sikap profesional keguruan Sikap profesional keguruan Reviewed by Ifta on December 08, 2015 Rating: 5

Mekanisme pelaksanaan dalam etika profesi

December 07, 2015

MAKALAH

MEKANISME PELAKSANAAN DALAM ETIKA PROFES


BAB 1

PENDAHULUAN


Guru merupakan salah satu kerja (profesion) sebagaimana halnya dengan kerja-kerja yang lain dalam masyarakat seperti akuntan, Dokter, konseling, kejuruteraan, perniagaan dan lain-lain sebagainya. Profesi (profesion) adalah suatu pekerjaan yang dalam melaksanakan tugasnya memerlukan/menuntut keahlian (expertise), menggunakan teknik-teknik ilmiah, serta dedikasi yang tinggi. Keahlian diperoleh dari lembaga pendidikan yang khusus diperuntukkan untuk itu dengan kurikulum yang dapat dipertanggungjawabkan.

Pada dasarnya profesi guru adalah profesi yang sedang tumbuh. Walaupun ada yang berpendapat bahwa guru adalah jabatan semiprofesional, namun sebenarnya lebih dari itu. Hal ini dimungkinkan karena jabatan guru hanya dapat diperoleh pada lembaga pendidikan yang lulusannya menyiapkan tenaga guru, adanya organisasi profesi, kode etik dan ada aturan tentang jabatan fungsional guru (SK Menpan No. 26/1989).  Untuk memahami pelaksanaan etika profesi guru maka, mekanisme dalam pelaksanaan etika profesi guru meliputi; peranan dan tugas mengajar, pengertian dan syarat-syarat profesi keguruan, dua prinsip etika profesi luhur, tuntutan seorang guru, etika keguruan, prinsip kode etik, hak dan kewajiban guru, tanggung jawab guru.


BAB II

MEKANISME PELAKSANAAN DALAM ETIKA PROFESI


A.    Peranan dan Tugas Mengajar

Setiap guru seharusnya mengetahui peranan dan tugas mereka secara terperinci jika mereka ingin berusaha melakukan dan menghasilkan pengajaran yang berkesan. Di antara tugas seorang guru ialah: menyampaikan ilmu pengetahuan, menyampaikan maklumat, menyampai dan memberi kemahiran serta memupuk nilai-nilai murni dan luhur sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Manakala peranan guru pula ialah sebagai pembimbing, pendidik, pembaharu, contoh dan teladan, pencari dan penyelidik, penasihat dan kaunselor, pencipta dan pereka, pencerita dan pelakon, penggalak dan perangsang, pengilham cita-cita, pengurus dan perancang, penilai, pemerhati, rakan dan kawan pelajar, doktor dan pengubat, penguat kuasa, pemberi petunjuk orang yang berwibawa dan sebagainya.

Jelas menunjukkan bahawa menjadi seorang guru merupakan satu tugas dan peranan yang agak berat. Sebenarnya, jika anda anggap tugas itu berat, maka beratlah ia. Jika anda terima ia sebagai satu cabaran dengan cara yang positif, maka mudahlah ia.

B.     Pengertian dan Syarat-syarat Profesi Keguruan

Kebanyakan kita mengatakan bahwa mengajar adalah suatu profesi. Apakah yang dimaksud dengan profesi, dan syarat-syarat serta criteria yang harus dipenuhi agar suatu jabatan dapat disebut suatu profesi? Ornstein dan Levine (1984), menyatakan bahwa profesi itu adalah jabatan yang:
  • Melayani masyarakat, merupakan karir yang akan dilaksanakan sepanjang hayat (tidak berganti-berganti pekerjaan).
  • Memerlukan bidang ilmu dan keterampilan tertentu di luar jangkauan khalayak ramai (tidak setiap orang dapat melakukannya).
  • Menggunakan hasil penelitian dan aplikasi dari teori ke praktek (teori baru dikembangkan dari hasil penelitian).
  • Memerlukan pelatihan khusus dengan waktu yang panjang.
  • Terkendali berdasarkan lisensi baku dan atau mempunyai persyarakan masuk (untuk jabatan tersebut memerlukan izin tertentu atau ada persyaratan khusus yang ditentukan untuk dapat mendudukinya).
  • Otonomi dalam membuat keputusan tentang ruang lingkup kerja tertentu (tidak diatur oleh orang luar).
  • Menerima tanggung jawab terhadap keputusan yang diambil dan unjuk kerja yang ditampilkan yang berhubungan dengan layanan yang diberikan (langsung bertanggung jawab terhadap apa yang diputuskannya, tidak dipindahkan ke atasan atau instansi yang lebih tinggi). Mempunyai sekumpulan unjuk kerja yang baku.
  • Mempunyai komitmen terhadap jabatan dank lien ; dengan penekanan terhadap layanan yang akan diberikan.
  • Menggunakan administrator untuk memudahkan profesinya; relative bebas dari supervisi dalam jabatan (misalnya dokter memakai tenaga administrasi untuk mendata klien, sementara tidak ada supervisi  dari luar terhadap pekerjaan dokter sendiri).
  • Mempunyai organisasi yang diatur oleh anggota profesi sendiri.
  • Mempunyai asosiasi profesi dan atau kelompok ‘elit’ untuk mengetahui dan mengakui keberhasilan anggotanya (keberhasilan tugas dokter dievaluasi dan dihargai oleh organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI), bukan oleh Depatemen Kesehatan).
  • Mempunyai kode etik untuk menjelaskan hal-hal yang meragukan atau menyangsikan yang berhubungan dengan layanan yang diberikan.
  • Mempunyai kadar kepercayaan yang tinngi dari publik dan kepercayaan dari setiap anggotanya (anggota masyarakat selalu meyakini dokter lebih tahu tentang penyakit pasien yang dilayaninya).
  • Mempuanyai status sosial dan ekonomi yang tinggi (bila dibandingkan dengan jabatan lainnya).
Tidak jauh berbeda dengan ciri-ciri di atas, Sanusi et al (1991), mengutarakan ciri-ciri utama suatu profesi itu sebagai berikut:
  • Suatu jabatan memiliki fungsi dan signifikansi sosial yang menentukan (crusial).
  • Jabatan yang mnuntut keterampilan/keahlian tertentu.
  • Keterampilan/keahlian yang dituntut jabatan itu di dapat melalui pemecahan masalah dengan menggunakan teori dan metode ilmiah.
  • Jabatan itu berdasarkan pada batang tubuh disiplin ilmu yang jelas, sistematik, dan eksplisit, yang bukan hanya sekedar pendapat khalayak umum.
  • Jabatan itu memerlukan pendidikan tingkat perguruan tinggi dengan waktu yang cukup lama.
  • Proses pendidikan untuk jabatan itu juga merupakan aplikasi dan sosialisai nilai-nilai profesional itu sendiri.
  • Dalam membrikan layanan kepada masyrakat anggota profesi itu berpegang teguh pada kode etik yang dikontrol oleh organisasi profesi.
  • Tiap anggota profesi mempunyai kebebasan dalam memberikan judgement terhadap permasalahan profesi yang dihadapinya.
  • Dalam prakteknya melayani masyarakat, anggota profesi otonom dan bebas dari campur tangan orang luar.
  • Jabatan ini mempunyai prestise yang tinggi dalam masyarakat, dan oleh karenanya memperoleh imbalan yang tinggi pula.

Bila kita bandingkan kriteria yang dipakai Sanusi et al. Ini dengan kiteria Ornstein dan Levine yang dibicarakan lebih dulu, dapat kita simpulkan bahwa keduanya hampir mirip, dan saling melengkapi, dan oleh karenanya dapat kita pakai sebagai pedoman dalam pembicaraan selanjutnya. Kalau kita pakai acuan ini maka jabatan pedagang, pnyanyi, penari, serta tukang koran yang disebut sebagai pada bagian pertama jelas bukan profesi.Tetapi yang akan kita bicarakan selanjutnya adalah jabatan guru, apakah jabatan guru telah disebut sebagai suatu profesi?

Khusus untuk jabatan guru ini sebenarnya juga sudah ada yang mencoba menyusun kriterianya. Misalnya National Education Association (NEA) 1948 menyarankan kriteria sebagai berikut:
  • Jabatan yang melibatkan kegiatan intelektual
  • Jabatan yang menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus.
  • Jabatan yang memerlukan persiapan profesional yang lama (bandingkan dengan pekerjaan yang memerlukan latihan umum belaka).
  • Jabatan yang memerlukan ’latihan dalam jabatan’ yang bersinambungan.
  • Jabatan yang menjanjanjikan karir hidup dan keanggotaan yang permanen.
  • Jabatan yang menentukan baku(standarnya) sendiri.
  • Jabatan yang lebih mementingkan layanan di atas keuntungan pribadi .
  • Jabatan yang mempunyai organisasi profesional yang kuat  dan terjalin erat.

C.     Dua Prinsip Etika Profesi Luhur

Tuntutan dasar etika profesi luhur yang pertama ialah agar profesi itu dijalankan tanpa pamrih. Dr. B. Kieser menuliskan: “Seluruh ilmu dan usahanya hanya demi kebaikan pasien/klien. Menurut keyakinan orang dan menurut aturan-aturan kelompok (profesi luhur), para profesional wajib membaktikan keahlinan mereka semata-mata kepada kepentingan yang mereka layani, tanpa menghitung untung ruginya sendiri. Sebaliknya, dalam semua etika profesi, cacat jiwa pokok dari seorang profe-sional ialah bahwa ia mengutamakan kepentingannya sendiri di atas kepentingan klien.

Yang kedua adalah bahwa para pelaksana profesi luhur ini harus memiliki pegangan atau pedoman yang ditaati dan diperlukan oleh para anggota profesi, agar kepercayaan para klien tidak disalahgunakan. Selanjutnya hal ini kita kenal sebagai kode etik. Mengingat fungsi dari kode etik itu, maka profesi luhur menuntut seseorang untuk menjalankan tugasnya dalam keadaan apapun tetap menjunjung tinggi tuntutan profesinya.

Kesimpulannya adalah jabatan guru juga merupakan sebuah profesi. Namun demikian profesi ini tidak sama seperti profesi-profesi pada umumnya. Bahkan boleh dikatakan bahwa profesi guru adalah profesi khusus luhur. Mereka yang memilih profesi ini wajib menginsafi dan menyadari bahwa daya dorong dalam bekerja adalah keinginan untuk mengabdi kepada sesama serta menjalankan dan menjunjung tinggi kode etik yang telah diikrarkannya, bukan semata-mata segi materinya belaka.

D.    Tuntutan Seorang Guru

Di atas telah dijelaskan tentang mengapa profesi guru sebagai profesi khusus dan luhur. Berikut akan diuraikan tentang dua tuntutan yang harus dipilih dan dilaksanakan guru dalam upaya mendewasakan anak didik. Tuntutan itu adalah:

1.      Mengembangkan visi anak didik tentang apa yang baik dan mengembangkan self esteem anak didik

2.       Mengembangkan potensi umum sehingga dapat bertingkah laku secara kritis terhadap pilihan-pilihan. Secara konkrit anak didik mampu mengambil keputusan untuk menentukan mana yang baik atau tidak baik.

Apabila seorang guru dalam kehidupan pekerjaannya menjadikan pokok satu sebagai tuntutan yang dipenuhi maka yang terjadi pada anak didik adalah suatu pengembangan konsep manusia terhadap apa yang baik dan bersifat eks-klusif. Maksudnya adalah bahwa konsep manusia terhadap apa yang baik hanya dikembangkan dari sudut pandang yang sudah ada pada diri siswa sehingga tak terakomodir konsep baik secara universal. Dalam hal ini, anak didik tidak diajarkan bahwa untuk mengerti akan apa yang baik tidak hanya bertitik tolak pada diri siswa sendiri tetapi perlu mengerti konsep ini dari orang lain atau lingkungan sehingga menutup kemung-kinan akan timbulnya visi bersama (kelompok) akan hal yang baik.

Berbeda dengan tujuan yang pertama, tujuan yang kedua lebih menekankan akan kemampuan dan peranan lingkungan dalam menentukan apa yang baik tidak hanya berdasarkan pada diri namun juga pada orang lain berikut akibatnya. Di lain pihak guru mempersiapkan anak didik untuk melaksanakan kebebasannya dalam mengembangkan visi apa yang baik secara konkrit dengan penuh rasa tanggung jawab di tengah kehidupan bermasyarakat sehingga pada akhirnya akan terbentuklah dalam diri anak sense of justice dan sense of good. Komitmen guru dalam mengajar guna pencapaian tujuan mengajar yang kedua lebih lanjut diuraikan bahwa guru harus memiliki loyalitas terhadap apa yang ditentukan oleh lembaga (sekolah). Sekolah selanjutnya akan mengatur guru, KBM dan siswa supaya mengalami proses belajar-mengajar yang berlangsung dengan baik dan supaya tidak terjadi penyalahgunaan jabatan. Namun demikian, sekolah juga perlu memberikan kebebasan bagi guru untuk mengembangkan, memvariasikan, kreativitas dalam merencanakan, membuat dan mengevaluasi sesuatu proses yang baik (guru mempunyai otonomi). Hal ini menjadi perlu bagi seorang yang profesional dalam pekerjaannya.

Masyarakat umum juga dapat membantu guru dalam proses kegiatan belajar mengajar. Hal ini dimungkinkan karena masyarakat ikut bertanggung jawab terhadap `proses’ anak didik. Ma-syarakat dapat mengajukan saran, kritik bagi lembaga (sekolah). Lembaga (sekolah) boleh saja mempertimbangkan atau menggunakan masukan dari masyarakat untuk mengembangkan pendidikan tetapi lembaga (sekolah) atau guru tidak boleh bertindak sesuai dengan kehendak masyarakat karena hal ini menyebabkan hilangnya profesionalitas guru dan otonomi lembaga (sekolah) atau guru.

Dengan demikian, pemahaman akan visi pekerjaan sesuai dengan etika moral profesi perlu dipahami agar tuntutan yang diberikan kepada guru bukan dianggap sebagai beban melainkan visi yang akan dicapai guru melalui pro-ses belajar mengajar. Guru perlu diberikan otonomi untuk mengembangkan dan mencapai tuntutan tersebut.

E.     Etika Keguruan

Sebenarnya kode etika pada suatu kerja adalah sifat-sifat atau ciri-ciri vokasional, ilmiah dan aqidah yang harus dimiliki oleh seorang pengamal untuk sukses dalam kerjanya. Lebih ketara lagi ciri-ciri ini jelas pada kerja keguruan. Dari segi pandangan Islam, maka agar seorang muslim itu berhasil menjalankan tugas yang dipikulkan kepadanya oleh Allah S.W.T pertama sekali dalam masyarakat Islam dan seterusnya di dalam masyarakat antarabangsa maka haruslah guru itu memiliki sifat-sifat yang berikut:

1)      Bahwa tujuan, tingkah laku dan pemikirannya mendapat bimbingan Tuhan (Rabbani), seperti disebutkan oleh surah Al-imran, ayat 79, “Tetapi jadilah kamu Rabbani (mendapat bimbingan Tuhan)”.

2)       Bahwa ia mempunyai persiapan ilmiah, vokasional dan budaya menerusi ilmu-ilmu pengkhususannya seperti geografi, ilmu-ilmu keIslaman dan kebudayaan dunia dalam bidang pengkhususannya.

3)      Bahwa ia ikhlas dalam kerja-kerja kependidikan dan risalah Islamnya dengan tujuan mencari keredhaan Allah S.W.T dan mencari kebenaran serta melaksanakannya.

4)      Memiliki kebolehan untuk mendekatkan maklumat-maklumat kepada pemikiran murid-murid dan ia bersabar untuk menghadapi masalah yang timbul.

5)      Bahwa ia benar dalam hal yang didakwahkannya dan tanda kebenaran itu ialah tingkah lakunya sendiri, supaya dapat mempengaruhi jiwa murid-muridnya dan anggota-anggota masyarakat lainnya. Seperti makna sebuah hadith Nabi S.A.W, “Iman itu bukanlah berharap dan berhias tetapi meyakinkan dengan hati dan membuktikan dengan amal”.

6)      ia fleksibel dalam mempelbagaikan kaedah-kaedah pengajaran dengan menggunakan kaedah yang sesuai bagi suasana tertentu. Ini memerlukan bahawa guru dipersiapkan dari segi professional dan psikologikal yang baik.

7)      Bahwa ia memiliki sahsiah yang kuat dan sanggup membimbing murid-murid ke arah yang dikehendaki.

8)      Bahwa ia sedar akan pengaruh-pengaruh dan trend-trend global yang dapat mempengaruhi generasi dan segi aqidah dan pemikiran mereka.

9)      Bahawa ia bersifat adil terhadap murid-muridnya, tidak pilih kasih, ia mengutamakan

Buku-buku pendidikan telah juga memberikan ciri-ciri umum seorang guru, ciri-ciri itu tidak terkeluar dan sifat-sifat dan aspek-aspek berikut:

1)      Tahap pencapaian ilmiah
2)      Pengetahuan umum dan keluasan bacaan
3)      Kecerdasan dan kecepatan berfikir
4)      Keseimbangan jiwa dan kestabilan emosi
5)       Optimisme dan entusiasme dalam pekerjaan
6)      Kekuatan sahsiah
7)      Memelihara penampilan(mazhar)
8)      Positif dan semangat optimisme
9)      Yakin bahawa ia mempunyai risalah(message)

Selepas uraian tentang kode etika dalam keguruan, marilah kita bahas tentang penghayatan dan pengamalan nilai. Masalah penghayatan (internalization) sesuatu perkara berlaku bukan hanya pada pendidikan agama saja tetapi pada aspek pendidikan, pendidikan pra-sekolah, pendidikan sekolah, pengajian tinggi, pendidikan latihan perguruan dan lain-lain. Sebab adalah terlalu dangkal kalau pendidikan itu hanya ditujukan untuk memperoleh ilmu (knowledge) dan ketrampilan (skill) saja tetapi yang lebih penting dari itu semua adalah penanaman sikap (attitude) yang positif pada diri pendidik terhadap hal yang menjadi tumpuan pendidikan. Pendidikan ilmu (knowledge) terutama yang berkenaan dengan fakta-fakta dan ketrampilan tidaklah terlalu rumit sebab tidak terlalu banyak melibatkan nilai-nilai. Tetapi sebaliknya pendidikan sikap di mana terlibat nilai-nilai yang biasanya berasal dari cara-cara pemasyarakatan yang diperoleh oleh kanak-kanak semasa kecil, apa lagi kalau objek pendidikan itu memang adalah nilai-nilai yang tidak dapat dinilai dengan betul atau salah tetapi dengan baik atau buruk, percaya atau tidak percaya, suka atau tidak suka dan lain-lain lagi. Dalam keadaan terakhir ini pendidikan tidak semudah dengan pendidikan fakta atau ketrampilan.

Pendidikan nilai-nilai, yang selanjutnya kalau diulang-ulang sebab diteguhkan akan berubah menjadi penghayatan nilai-nilai, mempunyai syarat-syarat yang berlainan dengan pendidikan fakta-fakta ketrampilan.

Pertama sekali nilai itu mestilah mempunyai model. Yang berarti tempat di mana nilai itu melekat supaya dapat disaksikan bagaimana nilai-nilai itu beroperasi. Ambillah suatu nilai seperti kejujuran. Nilai ini bersifat mujarrad(abstract), jadi tidak dapat diraba dengan pancaindera. Tidak dapat dilihat dengan mata, rupanya bagaimana. Tidak dapat dicium baunya, harum atau busuk dan sebagainya. Pendeknya, supaya nilai yang bernama kejujuran itu dapat disaksikan beroperasi maka ia harus melekat pada suatu model, seorang guru, seorang bapa, seorang kawan dan lain-lain. Kalau model tadi dapat mencerminkan nilai-nilai yang disebut, kejujuran itu pada dirinya, maka kejujuran itu boleh menjadi perangsang. Itu syarat pertama. Syarat yang kedua kalau kejujuran itu dapat menimbulkan peneguhan pada diri murid-murid maka ia akan dipelajari, ertinya diulang-ulang dan kemudian berubah menjadi penghayatan. Syarat kedua agak rumit sedikit, sebab selain daripada nilai kejujuran itu sendiri, juga model tempat kejujuran itu melekat diperlukan berfungsi bersama untuk menimbulkan peneguhan itu. Dengan kata-kata yang lebih sederhana, seorang guru atau ibu yang mengajarkan kejujuran kepada murid atau anaknya, haruslah ia sendiri lebih dahulu bersifat jujur, kalau tidak maka terjadi pertikaian antara perkataan dan perbuatan. Dalam keadaan terakhir ini, guru sebagai perangsang(stumulus) telah gagal sebagai model, sebab ia tidak akan memancing tingkahlaku kejujuran dan murid-muridnya.

Oleh sebab model tempat melekatnya nilai-nilai yang ingin diajarkan kepada murid-murid adalah manusia biasa, dengan pengertian dia mempunyai kekurangan-kekurangan, maka nilai-nilai yang akan diajarkan itu boleh menurun nilainya disebabkan oleh kekurangan-kekurangan yang ada pada model itu, malah ada kemungkinan anak didik mempelajari nilai sebaliknya. Jadi daripada jujur dia menjadi tidak jujur, jika pada model itu timbul sifat-sifat atau tingkah laku yang tidak meneguhkan kejujuran itu. Sebagai misal, ada murid-murid yang benci kepada matematik sebab ia tidak suka kepada guru yang mengajarkan matematik, kalau sikap ini dikembangkan, murid-murid boleh benci kepada semua yang berkaitan dengan matematik, seperti pelajaran sains misalnya. Oleh sebab itu dikehendaki dari guru-guru, terutama pada tingkat-tingkat sekolah dasar agar mereka melambangkan ciri kesempumaan dari segi jasmaniah dan rohaniah. Dengan kata lain syarat penghayatan nilai-nilai sangat bergantung pada peribadi model yang membawa nilai-nilai itu.

Semua guru, terlepas daripada mata pelajaran yang diajarkannya, adalah pengajar nilai-nilai tertentu. Sebab guru-guru sama ada sedar atau tidak, mempengaruhi murid-muridnya melalui kaedah-kaedah dan strategi-strategi pengajaran yang digunakan yang sebahagian besarnya termasuk dalam kawasan “kurikulum informal”. Sebagaimana setiap guru, apapun yang diajarkannya, adalah seorang guru bahasa maka setiap guru juga adalah seorang pengajar nilai-nilai. Bila seorang guru memuji seorang murid, maka ia meneguhkan sesuatu tingkahlaku. Bila guru menghukum seorang murid, maka ia menghukum tingkahlaku tertentu. Malah bila guru tidak mengacuhkan seorang murid, maka murid tersebut mungkin merasa bahawa guru tidak menyukai perbuatannya. Ini semua adalah nilai-nilai. Begitu juga dengan pendidikan agama, sebahagian, kalau tidak sebahagian besar, nilai-nilai agama itu sendiri tidak diajarkan oleh guru-guru agama di sekolah, tetapi oleh guru-guru matematik, geografi, sejarah dan lain-lain. Kalau mereka mencerminkan nilai-nilai Islam dalam cara berpakaian, bersopan-santun, beribadat atau dengan kata lain kalau amal mereka mencerminkan nilai-nilai Islam. Malah sebaliknya, mungkin ada setengah-setengah guru-guru agama sendiri tidak menjadi perangsang nilai-nilai Islam itu, kalau tidak menjadi perangsang negatif yang boleh menimbulkan sifat anti-agama pada diri murid-murid, iaitu jika perangai mereka sehari-hari bertentangan dengan nilai-nilai Islam, walaupun mereka sendiri mengajarkan agama. Jadi jangankan menghayati agama, sebaliknya murid-murid semakin menjauhi kalau tidak membenci segala yang berbau agama.

Inilah sebahagian syarat-syarat yang perlu wujud untuk penghayatan nilai-nilai. Oleh sebab pendidikan agama merupakan pendidikan ke arah nilai-nilai agama, maka orientasi pendidikan agama haruslah ditinjau kembali sesuai dengan tujuan tersebut. Pendidikan agama sekadar untuk lulus ujian mata pelajaran agama sudah lewat masanya. Orientasi sekarang adalah ke arah kemasyarakatan yang bermotivasi dan berdisiplin. Ini tidaklah mengesampingkan bahawa dalam pelajaran agama itu sendiri ada perkara-perkara yang bersifat fakta-fakta dan ketrampilan-ketrampilan. Maka pada yang terakhir ini juga berlaku kaedah pengajaran fakta-fakta dan ketrampilan. Tetapi memperlakukan semua pendidikan agama sebagai pengajaran fakta-fakta dan ketrampilan-ketrampilan saja adalah suatu kesalahan besar yang perlu diperbaiki dengan segera. Sebab kalau tidak maka suatu masa nanti akan timbul dalam masyarakat Islam sendiri ahli-ahli agama yang tidak menghayati ajaran agama atau orang-orang orientalis yang berdiam di negeri-negeri Timur.

Pengamalan nilai-nilai adalah kelanjutan daripada penghayatan nilai. Nilai-nilai yang sungguh-sungguh dihayati akan tercermin dalam amalan sehari-sehari. Sebab penghayatan itu pun berperingkat-peringkat, mulai dari peringkat yang paling rendah sampai kepada peringkat tinggi, seperti tergambar pada gambarajah di bawah,

Kelima : Peringkat Perwatakan

Keempat : Peringkat Organisasi

Ketiga : Peringkat Penilaian

Kedua : Peringkat Gerak balas

Pertama : Peringkat Penerimaan

Bila nilai-nilai itu dihayati sampai ke peringkat perwatakan maka ia sebati dengan sahsiah dan sukar untuk diubah dan sentiasa terpancar dalam amalan sehari-hari.Kesimpulan. Oleh sebab kode etika itu adalah nilai-nilai maka ia perlu dihayati dan diamalkan, bukan sekadar diketahui dan dihafalkan.

Seandainya kita coba mengkaji lebih dalam akan arti/makna dari lagu tersebut, maka tampaklah sebuah gambaran keseharian seorang guru, dengan loyalitasnya, ketekunan serta pengor-banan dalam mendidik siswa untuk mencapai suatu proses perkembangan yang optimal. Namun, dibalik itu semua juga tersirat suatu dilema profesi ini dimana seringkali guru tidak menerima penghargaan ataupun perlakuan yang sebanding dengan apa yang telah dikorbankan. Sebagai seorang yang berprofesi sebagai seorang guru apakah yang harus kita lakukan? Bagaimana pula sebaiknya kita menyikapi hal ini dengan lebih arif dan bijaksana? Karangan ini hanyalah sebuah tulisan dari pemikiran dan diskusi yang teoritis ini, namun de-ngan yang teoritis ini, penulis bisa berharap dapat memberikan masukan untuk merefleksikan kembali pilihan kita.

Jabatan guru merupakan jabatan Profesional, dan sebagai jabatan profesional, pemegangnya harus memenuhi kualifikasi tertentu. Kriteria jabatan profesional antara lain bahwa jabatan itu melibatkan kegiatan intelektual, mempunyai batang tubuh ilmu yang khusus, memerlukan persiapan lama untuk memangkunya, memerlukan latihan dalam jabatan yang berkesinambungan, merupakan karier hidup dan keanggotaan yang permanen, menentukan baku perilakunya, mementingkan layanan, mempunyai organisasi profesional, dan mempunyai kode etik yang di taati oleh anggotanya.

Jabatan guru belum dapat memenuhi secara maksimal persyaratan itu, namun perkembangannya di tanah air menunjukkan arah untuk terpenuhinya persyaratan tersebut. Usaha untuk ini sangat tergantung kepada niat, perilaku dan komitmen dari guru sendiri dan organisasi yang berhubungan dengan itu, selain juga, oleh kebijaksanaan pemerintah.

F.      Prinsip Kode Etik

Dalam kode etik bagi profesi umum setidak-tidaknya ada dua prinsip yang ditegakkan pertama: agar menjalankan profesinya secara bertanggung jawab, kedua: agar menghormati hak-hak orang lain. Bagi profesi luhur, juga ada dua prinsip yang harus ditegakkan yaitu pertama: mendahulukan kepentingan orang yang dibantu, yang dilayani mungkin ia kliennya atau pasiennya, kedua: mengabdi pada tuntutan luhur profesi. Untuk melaksanakan profesi luhur dengan baik, dituntut moralitas yang tinggi dari pelakunya. Moralitas yang harus dimiliki oleh profesi luhur pertama: berani berbuat dengan tekad untuk bertindak sesuai dengan tuntutan profesi, kedua: sadar akan kewajibannya, ketiga: memiliki idealisme yang tinggi.

Moralitas profesi luhur adalah etika yang berlaku bagi profesi tersebut. Etika profesi adalah produk etika yang merupakan penerapan dari himpunan pemikiran etis atau himpunan rumusan norma moral baik profesi tertentu. Himpunan rumusan tersebut pada dasarnya merupakan rumusan yang muncul dari kesadaran untuk mengatur anggota profesi tersebut. Karena hasil pemikiran atas dasar kesadaran moral, maka rumusan itu memungkinkan mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan pemikiran, tekhnologi dan kebutuhan profesi yang bersangkutan.

Menurut Suparman Usman bahwa bentuk rumusan etis sebagai himpunan rumusan moral yang belaku bagi profesi tertentu bisa berbeda dengan rumusan etika profesi yang lain. Namun sekalipun ada perbedaan rumusan bagi masing-masing profesi, secara umum ada segi persamaannya. Segi persamaan yang ada pada setiap etika profesi, bersumber dari nilai moral yang bersifat universal. Nilai-nilai universal yang merupakan titik persamaan pada setiap etika profesi umpanya nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, kejujuran, tidak merugikan orang lain dan sebagainya. Etika profesi merupakan kaidah yang mengikat kepada setiap anggota profesi yang membuatnya. Kaidah tersebut merupakan hukum bagi komunitas (masyarakat) profesi yang bersangkutan. Sebagai hukum ia mempunyai sanksi norma hukum yang lain dan mempunyai alat pemaksa. Seperti hukum-hukum dalam bentuk perundang-undangan yang dapat dipaksakan oleh negara. Sesuai dengan sifat dan bentuknya sebagai norma moral, maka sanksinyapun sebatas sanksi moral.

Karena sanksinya yang lemah, sebatas sanksi moral (atau sanksi administratif) maka kadang-kadang banyak anggota suatu profesi yang melanggar etika profesi, yang telah dibuatnya. Beberapa alasan yang menyebabkan pelangaran terhadap etika profesi tersebut, antara lain:

a)      Lemah Iman.

Seseorang yang lemah imannya, menimbulkan lemah moralnya yang memungkinkan terjadinya pelanggaran rumusan moral yang sudah diyakini baiknya dan yang sudah disepakati untuk mentaatinya.

b)      Pengaruh kedekatan hubungan

Kedekatan hubungan antara seseorang baik karena faktor keluar (nasab) atau faktor kedekatan lainnya bisa menimbulkan pelanggaran terhadap etika profesi.

c)      Pengaruh sistem yang berlaku

Kadang-kadang ada suatu sistem yang memberi peluang untuk tidak mentaati etika profesi yang berlaku. Umpama jabatan hakim. Ia sebagai pegawai negeri tunduk pada hukum kepegawaian Pegawai Negeri Sipil (eksekutif). Padahal Hakim sebagai unsur yudikatif ia harus melaksanakan fungsi yudikatif yang harus bebas dari pengaruh siapapun.

d)     Pengaruh materialisme dan konsumerisme

Karena tidak tahan terhadap pengaruh materialisme dan konsumerisme banyak anggota profesi tertentu yang kadang-kadang mengabaikan dan melanggar etika profesinya.

Langkah untuk mengatasi agar etika dipatuhi oleh setiap anggota profesi, antara lain pertama: peningkatan kualitas iman, melalui pembinaan mental yang kontinyu dan melaksanakan ajaran agama yang dianutnya secara benar dan sempurna, kedua: perlu sanksi yang jelas, tegas, mengikat dan berat bagi pelanggar etika profesi. Sebab pada dasarnya pelanggaran yang dilakukan oleh orang yang berilmu seharusnya lebih berat sanksinya dibanding pelanggaran yang dilakukan oleh orang bodoh.

Dalam rangka menegakkan etika bagi setiap profesi baik profesi pada umumnya maupun profesi luhur, maka ditentukanlah prinsip-prinsip yang wajib ditaati. Prinsip-prinsip ini umumnya dituangkan dalam kode etik profesi yang bersangkutan. Kode etik disusun oleh mereka yang memiliki profesi tersebut. Hal itu biasanya disusun oleh lembaga/institusi profesi tersebut. Umpamanya disebutkan Kode Etik Profesi guru dan dosen ialah aturan tertulis yang harus dipedomani oleh setiap guru dan dosen dalam melaksanakan tugas profesi sebagai guru dan dosen. Apabila salah satu anggota kelompok profesi tersebut berbuat menyimpang dari kode etiknya atau melanggar etika yang seharusnya ia taati, maka kelompok proefesi itu akan tercemar di mata masyarakat, dan ia akan diberi sanksi sebagaimana yang disebutkan dalam kode etiknya.

Ketentuan tentang tanggung jawab guru  dan dosen sebagaimana tersebut dalam Pasal 77 dan 78 UU No. 14 Tahun 2005 ditetapkan sebagai berikut:

1.      Sanksi bagi guru :

1)      Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undang.

2)      Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

  • Teguran.
  • Peringatan tertulis.
  • Penundaan pemberian hak guru.
  • Penurunan pangkat.
  • Pemberhentian dengan hormat, atau
  • Pemberhentian tidak dengan hormat.
3)      Guru yang berstatus ikatan dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama diberi sanksi sesuai dengan perjanjian ikatan dinas.

4)      Guru yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat, yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20  dikenai sanksi sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.

5)      Guru yang melakukan pelanggaran kode etik dikenai sanksi oleh organisasi profesi.

6)      Guru yang dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) mempunyai hak membela diri.


G.    Hak dan Kewajiban Guru.

a.       Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak:

  • Memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.
  • Mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja.
  • Memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual.
  • Memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi.
  • Memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan.
  • Memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.
  • Memperoleh rasa aman dan  jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas.
  • Memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi.
  • Memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan.
  • Memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi dan/ atau.
  • Memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya.

b.      Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru dan berkewajiban:

  • Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran.
  • Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, tekhnologi, dan seni.
  • Bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, rasa, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran.
  • Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika dan.
  • Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.

H.    Tanggung Jawab Guru

Dalam bekerja mempunyai kebebasan dan kebebasan ini merupakan hak asasi manusia. Disamping setiap orang mempunyai kebebasan, pada saat yang sama diapun mempunyai kewajiban asasi (kewajiban dasar). Dalam rangka melaksanakan kewajiban itu, maka setiap orang harus mempertanggung jawabkan perbuatan berdasarkan kebebasan yang dilaksanakannya. Hak dan kewajiban tidak bisa dipisahkan, hanya bisa dibedakan. Demikian juga kebebasan (hak) dan tanggung jawab (bukti adanya kewajiban), tidak bisa dipisahkan, namun bisa bedakan. Seseorang tidak dapat memiliki hak tanpa memiliki kewajiban, atau seseorang tidak dapat mempunyai kebebasan tanpa memiliki tanggung jawab.

Seseorang yang memiliki dan melaksanakan profesi tertentu adalah orang yang mempunyai dan melaksanakan kebebasan dalam profesinya baik profesi pada umumnya maupun profesi luhur. Karena ia mempunyai  kebebasan dalam melaksanakan profesinya maka ia harus bertanggung jawab dalam pelaksanaan profesi tersebut. Kebebasan merupakan hak asasi dari setiap manusia sebagian mempunyai kebebasan dalam menentukan pilihan-pilihan yang akan dilakukan. Namun karena setiap manusia mempunyai kewajiban dasar dalam pergaulan hidupnya dengan manusia lain maka ia harus selalu menjaga agar kebebasan yang dimiliki itu tidak bertentangan dengan kehendak orang. Setiap orang harus bisa membuktikan kepada manusia lainnya, bahwa kebebasan yang dia lakukan adalah kebebasan dalam rangka pelaksanaan hak asasi (hak dasar) dan kewajiban asasi (kewajiban dasar).

Jadi setiap pelaksanaan kebebasan mengandung tuntutan kewajiban. Dalam melaksanakan kewajiban itulah seseorang harus bertanggungjawab. Tanggung jawab sebenarnya merupakan konsekwensi logis dari kebebasan. Namun tanggung jawab itu menjadi sangat menonjol pada pelaksanaan kewajiban moral. Sehingga sikap moral yang dewasa adalah sikap moral yang bertanggung jawab. Jadi orang yang bertanggung jawab adalah orang yang bermoral, atau sebaliknya orang yang bermoral adalah orang yang bertanggung jawab.

Menurut K Bertens ”kebebasan” dan ”tanggung Jawab” seolah-olah merupakan pengertian kembar. Di antara keduanya terdapat hubungan timbal balik. Orang yang mengatakan ”manusia itu bertanggung jawab”. Sebaliknya jika kita bertolak dari  pengertian bertanggung jawab, kita selalu turut memaksudkan juga ”kebebasan”. Tidak mungkin ada kebebasan tanpa tanggung jawab, sebaliknya tidak mungkin ada tanggung jawab tanpa kebebasan. Satu sama lain dua kata itu saling mempengaruhi dan saling membatasi. Maka kadang-kadang dua kata tersebut disatukan menjadi ”kebebasan yang bertanggung jawab”.

Tanggung jawab merupakan salah satu etika yang harus ditaati bagi orang yang mempunyai profesi tertentu. Menurut Suparman Usman bertanggung jawab bagi seorang yang memiliki profesi tertentu, dapat dirumuskan antara lain:

a.       Bertanggung jawab terhadap dunia profesi yang dimilikinya dan mentaati kode etik yang berlaku dalam profesi yang bersangkutan.

b.      Bertanggung jawab atas pekerjaan yang dilakukannya sesuai dengan tuntutan pengabdian profesinya.

c.       Bertanggung jawab atas hasil profesi yang dilaksanakannya. Artinya dia harus bekerja untuk mendatangkan hasil yang sebaik mungkin kulaitasnya, bagi kepentingan kemanusiaan.

d.      Bertanggung jawab terhadap diri sendiri, terhadap masyarakat dan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.Dalam pandangan orang yang berTuhan, bahwa  seluruh pekerjaan yang dilakukannya adalah dalam rangka ibadah kepadaNya. Oleh karena itu dia harus sadar, bahwa apa yang dia kerjakan pada hakikatnya kelak akan diminta pertanggungjawaban oleh Tuhan Yang Maha Esa.

e.       Dalam keadaan apapun dia harus berani mengambil resiko untuk menegakkan kebenaran yang berhubungan dengan profesinya, secara bertanggungjawab dia harus berani berucap, bertindak dan mengemukakan sesuatu yang sesuai dengan kebenaran tuntutan profesi yang diyakininya.

f.       Dia secara sadar harus selalu berusaha untuk meningkatkan kualitas yang berhubungan dengan tuntutan profesinya, sesuai dengan dinamika dan tuntutan zaman serta keadaan yang semakin berkembang pada tiap saat.Dalam keadaan tertentu, bila diperlukan dia harus bersedia memberikan laporan pertanggungjawaban kepada pihak manapun tentang segala hal yang pernah ia laksanakan sesuai dengan profesinya

 

BAB III

KESIMPULAN


Mekanisme pelaksanaan dalam etika profesi meliputi;

A.    Peranan dan tugas mengajar,

Peran dan tugas seorang guru ialah: menyampaikan ilmu pengetahuan, menyampaikan maklumat, menyampai dan memberi kemahiran serta memupuk nilai-nilai murni dan luhur.

B.     Pengertian dan syarat-syarat profesi keguruan,

Profesi guru adalah;

  • Jabatan yang melibatkan kegiatan intelektual
  • Jabatan yang menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus.
  • Jabatan yang memerlukan persiapan profesional yang lama (bandingkan dengan pekerjaan yang memerlukan latihan umum belaka).
  • Jabatan yang memerlukan ’latihan dalam jabatan’ yang bersinambungan.
  • Jabatan yang menjanjanjikan karir hidup dan keanggotaan yang permanen.Jabatan yang menentukan baku(standarnya) sendiri.
  • Jabatan yang lebih mementingkan layanan di atas keuntungan pribadi .
  • Jabatan yang mempunyai organisasi profesional yang kuat  dan terjalin erat.

C.     Dua prinsip etika profesi luhur

Tuntutan dasar etika profesi luhur yang pertama ialah agar profesi itu dijalankan tanpa pamrih. Yang kedua adalah bahwa para pelaksana profesi luhur ini harus memiliki pegangan atau pedoman yang ditaati dan diperlukan oleh para anggota profesi, agar kepercayaan para klien tidak disalahgunakan.

D.    Tuntutan seorang guru

Tuntutan itu adalah:
  • Mengembangkan visi anak didik tentang apa yang baik dan mengembangkan self esteem anak didik
  • Mengembangkan potensi umum sehingga dapat bertingkah laku secara kritis terhadap pilihan-pilihan. Secara konkrit anak didik mampu mengambil keputusan untuk menentukan mana yang baik atau tidak baik

E.     Etika keguruan

Kode etika pada suatu kerja adalah sifat-sifat atau ciri-ciri vokasional, ilmiah dan aqidah yang harus dimiliki oleh seorang pengamal untuk sukses dalam kerjanya. Kode etika itu adalah nilai-nilai maka ia perlu dihayati dan diamalkan, bukan sekadar diketahui dan dihafalkan.

F.      Prinsip kode etik

Dalam rangka menegakkan etika bagi setiap profesi baik profesi pada umumnya maupun profesi luhur, maka ditentukanlah prinsip-prinsip yang wajib ditaati. Prinsip-prinsip ini dituangkan dalam kode etik profesi yang bersangkutan. Apabila salah satu anggota kelompok profesi tersebut berbuat menyimpang dari kode etiknya atau melanggar etika yang seharusnya ia taati, maka kelompok proefesi itu akan tercemar di mata masyarakat, dan ia akan diberi sanksi sebagaimana yang disebutkan dalam kode etiknya

G.    Hak dan kewajiban guru

Hak Guru adalah memperoleh kebebasan memberikan penilaian sesuai kode etik, jaminan kesejahteraan sosial, dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas. Sedangkan kewajiban guru meliputi, merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran secara objektif, meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi, serta menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika.

H.    tanggung jawab guru

Tanggung jawab guru meliputi Bertanggung jawab terhadap dunia profesi, pekerjaan, hasil profesi yang dilaksanakan, diri sendiri, harus berani mengambil resiko untuk menegakkan kebenaran yang berhubungan dengan profesinya, dan secara sadar harus selalu berusaha untuk meningkatkan kualitas yang berhubungan dengan tuntutan profesinya, sesuai dengan dinamika dan tuntutan zaman serta keadaan yang semakin berkembang pada tiap saat.


Mekanisme pelaksanaan dalam etika profesi Mekanisme pelaksanaan dalam etika profesi Reviewed by Ifta on December 07, 2015 Rating: 5

Kode etik profesi keguruan

December 07, 2015

A.      PENGERTIAN KODE ETIK PROFESI KEGURUAN

Secara etimologis, kode etik berarti pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Dengan kata lain, kode etik merupakan pola aturan atau tata cara etis sebagai pedoman berperilaku. Etis berarti sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang dianut oleh sekelompok orang atau masyarakat tertentu.

Dalam kaitannya dengan istilah profesi, kode etik merupakan tata cara atau aturan yang menjadi standar kegiatan anggota suatu profesi. Gibson dan Mitchel (1995:449) menegaskan bahwa a code of ethics represents the profesional values of a profession translated into standarts of conduct for the memberships. Suatu kode etik menggambarkan nilai-nilai profesional suatu profesi yang diterjemahkan ke dalam standar perilaku anggotanya. Inti nilai profesional yaitu adanya sifat altruistis dari seorang profesional, mementingkan kesejahteraan orang lain dan lebih berorientasi pada pelayanan masyarakat umum. Jadi nilai profesional utama adalah keinginan untuk memberikan pengabdian kepada masyarakat.

Nilai profesional seperti di atas disebut juga dengan istilah asas etis, yaitu landasan-landasan berpijak sebagai penopang perilaku etis. Canadian Code of Ethics, yang sering juga dikemukakan para ahli dengan istilah CCE (Chung, 1981) mengemukakan empat asas etis, yaitu: (1) respect for the dignity of ethics (menghargai harkat dan martabat manusia), (2) responsable caring (kepedulian yang bertanggung jawab), (3) Integrity in relationships (integritas dalam hubungan), dan (4) responsibility to society (tanggung jawab kepada masyarakat).

Jika kode etik itu dijadikan standar aktivitas anggota profesi, kode etik tersebut sekaligus sebagai pedoman. Bahkan sebagai pedoman bagi masyarakat untuk mengantisipasi terjadinya bias interaksi antara masyarakat dengan anggota profesi tersebut. Bias interaksi tersebut merupakan monopoli profesi, yaitu memanfaatkan kekuasaan dan hak-hak istimewa untuk melindungi kepentingan pribadi yang bertentangan dengan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, dapat dipahami jika Oteng Sutisna (1986:364) sampai mendefinisikan kode etik sebagai seperangkat pedoman yang memaksa perilaku etis para anggota profesi. Perangkat pedoman ini lebih eksplisit, sistematis, dan mengikat.

Konvensi nasional IPBI ke-1 mendefinisikan kode etik sebagai pola ketentuan, aturan, tata cara yang menjadi pedoman dalam menjalankan tugas dan aktivitas suatu profesi. Pola, ketentuan dan aturan tersebut seharusnya diikuti, dan ditaati oleh setiap orang yang menyandang dan menjalankan profesi tersebut.

Keharusan dalam definisi di atas memperkuat suatu penafsiran bahwa jika anggota profesi tidak berperilaku seperti apa yang tertera dalam kode etik, maka konsekuensinya ia berhadapan dengan sanksi. Paling tidak sanksi dari masyarakat berupa lunturnya kepercayaan masyarakat kepada profesi itu, bahkan sampai hukuman pidana sekalipun.

Dalam Pidato pembukaan Kongres PGRI XIII, Basuni sebagai Ketua Umum PGRI menyatakan bahwa Kode Etik Guru Indonesia merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku guru warga PGRI dalam melaksanakan panggilan pengabdiannya bekerja sebagai guru (PGRI, 1973). Dari pendapat Ketua Umum PGRI ini dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam Kode Etik Guru Indonesia terdapat dua unsur pokok yakni: (a) sebagai landasan moral dan (b) sebagai pedoman tingkah laku.

Dari uraian tersebut kelihatan, bahwa kode etik suatu profesi adalah norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap anggota profesi di dalam melaksanakan tugas profesinya dan dalam hidupnya di masyarakat. Norma-norma tersebut berisi petunjuk-petunjuk bagi para anggota profesi tentang bagaimana mereka melaksanakan profesinya dan larangan-larangan, yaitu ketentuan-ketentuan tentang apa yang tidak boleh diperbuat atau dilaksanakan oleh mereka, tidak saja dalam menjalankan tugas profesi mereka, melainkan juga menyangkut tingkah laku anggota profesi pada umumnya dalam pergaulannya sehari-hari di dalam masyarakat.

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, Pasal 28 Undang-Undang ini dengan jelas menyatakan bahwa “Pegawai Negeri Sipil mempunyai kode etik sebagai pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan di dalam dan di luar kedinasan”.

Dalam penjelasan Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa dengan adanya kode etik ini, Pegawai Negeri Sipil sebagai aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat mempunyai pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam melaksanakan tugasnya dan dalam pergaulan hidup sehari-hari. Selanjutnya, dalam Kode Etik Pegawai Negeri Sipil itu digariskan pula prinsip-prinsip pokok tentang pelaksanaan tugas dan tanggung jawab pegawai negeri. Dari uraian ini dapat disimpulkan, bahwa kode etik merupakan pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan di dalam melaksanakan tugas dan dalam hidup sehari-hari.


B.       TUJUAN KODE ETIK PROFESI KEGURUAN

Pada dasarnya tujuan merumuskan kode etik dalam suatu profesi adalah untuk kepentingan anggota dan kepentingan organisasi profesi itu sendiri. Secara umum tujuan mengadakan kode etik adalah sebagai berikut (R. Hermawan S, 1979):

1.    Untuk menjunjung tinggi martabat profesi

Dalam hal ini kode etik dapat menjaga pandangan dan kesan dari pihak luar atau masyarakat, agar mereka jangan sampai memandang rendah atau remeh terhadap profesi yang bersangkutan. Oleh karenanya, setiap kode etik suatu profesi akan melarang berbagai bentuk tindak-tanduk atau kelakuan anggota profesi yang dapat mencemarkan nama baik profesi terhadap dunia luar. Dari segi ini, kode etik juga seringkali disebut kode kehormatan.

2.    Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggotanya

Yang dimaksud kesejahteraan di sini meliputi baik kesejahteraan lahir (atau material) maupun kesejahteraan batin (spiritual atau mental). Dalam hal kesejahteraan lahir para anggota profesi, kode etik umumnya memuat larangan-larangan kepada para anggotanya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan kesejahteraan para anggotanya. Misalnya dengan menetapkan tarif-tarif minimum bagi honorarium anggota profesi dalam melaksanakan tugasnya, sehingga siapa-siapa yang mengadakan tarif di bawah minimum akan dianggap tercela dan merugikan rekan-rekan seprofesi. Dalam hal kesejahteraan batin para anggota profesi, kode etik umumnya memberi petunjuk-petunjuk kepada para anggotanya untuk melaksanakan profesinya.

3.    Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi.

Tujuan lain kode etik dapat juga berkaitan dengan peningkatan kegiatan pengabdian profesi, sehingga bagi para anggota profesi dapat dengan mudah mengetahui tugas dan tanggung jawab pengabdiannya dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, kode etik merumuskan ketentuan-ketentuan yang perlu dilakukan para anggota profesi dalam menjalankan tugasnya.

4.    Untuk meningkatkan mutu profesi

Untuk meningkatkan mutu profesi kode etik juga memuat norma-norma dan anjuran agar para anggora profesi selalu berusaha untuk meningkatkan mutu pengabdian para anggotanya.

5.    Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi

Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi, maka diwajibkan kepada setiap anggota untuk secara aktif berpartisipasi dalam membina organisasi profesi dan kegiatan-kegiatan yang dirancang organisasi.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan suatu profesi menyusun kode etik adalah untuk menjunjung tinggi martabat profesi, menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota, meningkatkan pengabdian anggota profesi, dan meningkatkan mutu profesi dan mutu organisasi profesi.


C.      FUNGSI KODE ETIK PROFESI KEGURUAN

Pada dasarnya kode etik dapat berfungsi ganda, yaitu sebagai perlindungan dan pengembangan bagi profesi itu dan sebagai perlindungan bagi masyarakat pengguna jasa pelayanan suatu profesi. Fungsi kode etik seperti itu sesuai dengan apa yang dikemukakan Gibson dan Mitchel (1995:449), namun mereka lebih menekankan pada pentingnya kode etik tersebut sebagai pedoman pelaksanaan tugas profesional anggota suatu profesi bagi masyarakat pengguna profesi dalam meminta pertanggungjawaban jika ada anggota profesi yang bertindak di luar kewajaran sebagai profesional.

Biggs dan Blocher (1986:10) mengemukakan tiga fungsi kode etik, yaitu:

 (a) to protect a profession from goverment interference (melindungi suatu profesi dari campur tangan pemerintah).

 (b) to prevent internal disagreements within a profession (mencegah terjadinya pertentangan internal dalam suatu profesi).

 (c) to protect practitioners in cases of alleged malpractice (melindungi para praktisi dari kesalahan praktik suatu profesi).

Susan Zanti dan Syahmiar Syahrun (1992) secara spesifik mengemukakan empat fungsi kode etik guru bagi guru itu sendiri. Keempat fungsi kode etik tersebut sebagai berikut.
  1. Agar guru terhindar dari penyimpangan profesi, karena sudah adanya landasan yang digunakan mereka sebagai acuan.
  2. Untuk mengatur hubungan guru dengan murid, teman sekerja dan masyarakat, jabatan profesi, dan pemerintah.
  3. Sebagai pegangan dan pedoman tingkah laku guru agar lebih bertanggung jawab pada profesinya.
  4. Pemberi arah yang benar kepada penggunaan profesinya.

Secara umum dapat dirinci bahwa fungsi kode etik guru ialah:

  1. Agar guru memiliki pedoman dan arah yang jelas dalam melaksanakan tugasnya, sehingga terhindar dari penyimpangan profesi.
  2. Agar guru bertanggung jawab atas profesinya.
  3. Agar profesi guru terhindar dari perpecahan dan pertentangan internal.
  4. Agar guru mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan, sehingga jasa profesi guru diakui dan digunakan oleh masyarakat sebagai profesi yang membantu dalam memecahkan masalah dan mengembangkan diri.
  5. Agar profesi guru terhindar dari campur tangan profesi lain dan pemerintah.

Kode etik guru sesungguhnya merupakan pedoman yang mengatur hubungan guru dengan teman sejawat, peserta didik, orang tua peserta didik, pimpinan, masyarakat, dan dengan misi tugasnya. Jalinan hubungan tersebut dilakukan untuk kepentingan, terutama untuk kepentingan perkembangan siswa secara optimal. Secara jelas, jalinan hubungan itu diatur oleh kode etik.

Etika hubungan guru dengan teman sejawat menuntut perilaku yang kooperatif, mempersamakan, dan saling mendukung. Kompetisi yang agresif dan tidak sehat harus dicegah. Hubungan antar sejawat terutama terjadi dalam bentuk konsultasi dan referal (Oteng Sutina, 1986:364). Konsultasi merupakan kebiasaan untuk mengundang teman sejawat agar ikut serta dalam menganalisis kebutuhan peserta didik dan kemungkinan perencanaan bantuannya. Referal adalah proses penerusan bantuan seorang peserta didik (klien) kepada teman sejawat yang profesional atau penyandang profesi lain yang relevan untuk membantu pemecahan masalah dan mengembangkan diri peserta didik, tentu saja sesuai dengan karakteristik permasalahan yang dihadapi peserta didik. Misalnya ketika seorang guru mempunyai murid yang mengalami kesulitan belajar, yang kesulitannya di luar batas kemampuan guru itu, maka guru tersebut mengkonsultasikannya kepada guru lain. Kalau peserta didik perlu diberi layanan konseling, guru tersebut sebaiknya membuat referal kepada konselor sekolah/pembimbing, bahkan kalau masalahnya sudah menyangkut rekonstruksi psikologis, misalnya mengalami gangguan fungsi psikis, maka peserta didik tersebut sebaiknya direferal kepada psikolog, psikiater atau dokter dan sebagainya.

Etika hubungan guru dengan peserta didik menuntut terciptanya hubungan berupa helping relationship (Brammer, 1979), yaitu hubungan yang bersifat membantu dengan mengupayakan terjadinya iklim sekolah yang kondusif bagi perkembangan peserta didik. Hubungan ini ditandai oleh adanya perilaku empati, penerimaan dan penghargaan, kehangatan dan perhatian, keterbukaan dan ketulusan, serta kekonkretan, dan kekhususan ekspresi seorang guru.

Etika hubungan guru dengan pemimpin di sekolah menuntut adanya saling mempercayai. Guru percaya bahwa pimpinan sekolah memberi tugas yang dapat dikerjakannya dan setiap pekerjaan yang dilakukan pasti ada imbalannya, paling tidak di akhirat kelak. Sebaliknya, pimpinan sekolah atau madrasah mempercayakan suatu tugas kepada guru karena keyakinannya bahwa guru tersebut akan mampu melaksanakannya sebaik mungkin. Dalam hubungan guru dengan pimpinan tersebut yang terpenting adanya tanggung jawab dari kedua belah pihak atas konsekuensi dari beban kerja itu. Yang harus diterima guru dari pimpinan sekolah adalah tugas kependidikan. Kalau dalam pelaksanaan ada masalah tentu perlu konsultasi. Manakala tugas telah dilaksanakan, guru memberi laporan. Jadi, isi utama hubungan guru dengan pimpinan sekolah adalah penerimaan dan pemberian tugas, konsultasi-supervisi, dan laporan-evaluasi.

Guru sangat perlu memelihara hubungan baik dengan masyarakat yang lebih luas untuk kepentingan pendidikan, misalnya mengadakan kerjasama dengan kalangan industri terdekat yang berorientasi pada peningkatan mutu pendidikan, mengembangan jaringan PSG dengan perusahaan-perusahaan yang relevan dan pihak yang terkait lainnya.

Guru menghayati hubungan baik terhadap misi tugasnya sendiri, dengan berupaya meningkatkan profesionalisme dan kinerjanya. Peningkatan profesionalisme dapat dilakukan melalui pendalaman ilmu keguruan/kependidikan atau ilmu pengetahuan terkini, atau dengan cara melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi serta berpartisipasi dalam kegiatan keprofesian yang relevan. Peningkatan kinerja dapat diawali dari mencintai profesi kependidikan, sehingga profesi ini menjadi bagian dari hidupnya.


D.       PENETAPAN KODE ETIK

Kode etik hanya dapat ditetapkan oleh suatu organisasi profesi yang berlaku dan mengikat para anggotanya. Penetapan kode etik lazim dilakukan pada suatu kongres organisasi profesi. Dengan demikian penetapan kode etik tidak boleh dilakukan oleh orang secara perorangan, melainkan harus dilakukan oleh orang-orang yang diutus untuk dan atas nama anggota-anggota profesi dari organisasi tersebut. Dengan demikian jelas bahwa orang-orang yang bukan atau tidak menjadi anggota profesi tersebut, tidak dapat dikenakan aturan yang ada dalam kode etik tersebut. Kode etik suatu profesi hanya akan mempunyai pengaruh yang kuat dalam menegakkan disiplin di kalangan profesi tersebut, jika semua orang menjalankan profesi tersebut tergabung (menjadi anggota) dalam organisasi profesi yang bersangkutan.

Apabila setiap orang yang menjalankan suatu profesi secara otomatis tergabung di dalam suatu organisasi atau ikatan profesional, maka barulah ada jaminan bahwa profesi tersebut dapat dijalankan secara murni dan baik, karena setiap anggota profesi yang melakukan pelanggaran yang serius terhadap kode etik dapat dikenakan sanksi.


E.        SANKSI PELANGGARAN KODE ETIK

Sering juga kita jumpai, bahwa ada kalanya negara mencampuri urusan profesi, sehingga hal-hal yang semula hanya merupakan kode etik saja dari suatu profesi tertentu dapat meningkat menjadi peraturan hukum atau undang-undang. Apabila halnya demikian, maka aturan yang mulanya sebagai landasan moral dan pedoman tingkah laku meningkat menjadi aturan yang memberikan sanksi-sanksi hukum yang sifatnya memaksa, baik berupa sanksi perdata maupun sanksi pidana.

Sebagai contoh dalam hal ini jika seseorang angggota profesi bersaing secara tidak jujur atau curang sesama anggota profesinya dan jika dianggap kecurangan itu serius ia dapat dituntut di muka pengadilan. Pada umunya karena kode etik adalah landasan moral dan merupakan pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan, maka sanksi terhadap pelanggaran kode etik adalah sanksi moral. Barang siapa melanggar kode etik, akan mendapat celaan dari rekan-rekannya, sedangkan sanksi yang dianggap terberat adalah si pelanggar dikeluarkan dari organisasi profesi. Adanya kode etik dalam suatu organisasi profesi tertentu menandakan bahwa organisasi profesi itu telah mantap.


F.        KODE ETIK GURU INDONESIA

Kode Etik Guru Indonesia dapat dirumuskan sebagai himpunan nilai-nilai dan norma-norma profesi guru yang tersusun dengan baik, sistematik dalam suatu sistem yang utuh dan bulat. Fungsi Kode Etik Guru Indonesia adalah sebagai landasan moral dan pedoman tingkah laku setiap guru warga PGRI dalam menunaikan tugas pengabdiannya sebagai guru, baik di dalam maupun di luar sekolah serta dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Dengan demikian, maka Kode Etik Guru Indonesia merupakan alat yang amat penting untuk pembentukan sikap profesional para anggota profesi keguruan.

Sebagaimana halnya dengan profesi lainnya, Kode Etik Guru Indonesia ditetapkan dalam suatu kongres yang dihadiri oleh seluruh utusan Cabang dan Pengurus Daerah PGRI dari seluruh penjuru tanah air, pertama dalam Kongres ke XIII di Jakarta tahun 1973, dan kemudian disempurnakan dalam Kongres PGRI ke XVI tahun 1989 juga di Jakarta. Adapun teks Kode Etik Guru Indonesia yang telah disempurnakan tersebut adalah sebagai berikut:

KODE ETIK GURU INDONESIA

Guru Indonesia menyadari bahwa pendidikan adalah bidang pengabdian terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Bangsa, dan Negara serta pada kemanusiaan pada umumnya. Guru Indonesia yang berjiwa Pancasila dan setia pada UUD 1945, turut bertanggung jawab atas terwujudnya cita-cita proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Oleh kerena itu, Guru Indonesia terpanggil untuk menunaikan karyanya dengan memedomani dasar-dasar sebagai berikut:

1.  Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia yang seutuhnya yang berjiwa Pancasila.

Ini mengandung pengertian bahwa perhatian utama seorang guru adalah peserta didik. Perhatiannya itu semata-mata dicurahkan untuk membimbing peserta didik, yaitu mengembangkan potensinya secara optimal dengan mengupayakan terciptanya pembelajaran yang edukatif. Melalui proses inilah diharapkan peserta didik menjelma sebagai manusia seutuhnya yang berjiwa Pancasila. Manusia utuh yang dimaksud adalah manusia yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohaninya, bukan hanya sehat secara fisik, namun juga secara psikis. Manusia yang berjiwa Pancasila artinya manusia yang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara selalu mengindahkan dan mengaplikasikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

2.  Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional.

Kode Etik Guru ini mengandung makna bahwa guru hanya sanggup menjalankan tugas profesi yang sesuai dengan kemampuannya. Ia tidak menunjukkan sifat arogansi profesional. Manakala menghadapi masalah yang ia sendiri tidak mampu mengatasinya, ia mengaku dengan jujur bahwa masalah itu di luar kemampuannya, sambil terus berupaya meningkatkan kemampuan yang dimilikinya.

3.  Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan.

Ini menunjukkan pentingnya seorang guru mendapatkan informasi tentang peserta didik selengkap mungkin. Informasi tentang kemampuannya, minat, bakat, motivasi, kawan-kawannya dan informasi yang kira-kira berpengaruh pada perkembangan peserta didik dan mempermudah guru dalam membimbing dan membina peserta didik tersebut.

4.  Guru harus dapat menciptakan suasana yang dapat diterima peserta didik untuk berhasilnya proses belajar mengajar.

Kode Etik Guru keempat mengisyaratkan pentingnya guru menciptakan suasana sekolah yang aman, nyaman dan membuat peserta didik betah belajar. Yang perlu dibangun antara lain iklim komunikasi yang demokratis, hangat dan penuh rasa kekeluargaan, tetapi menjauhkan diri dari kolusi dan nepotisme.

5.      Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitar supaya terjalin hubungan dan kerjasama yang baik dalam pendidikan.

Kode Etik Guru ini mengangkat pentingnya peran serta orang tua siswa dan masyarakat sekitarnya untuk andil dalam proses pendidikan di sekolah/ madrasah. Peran serta mereka akan terwujud jika terjalin hubungan baik antara guru dengan peserta didik, dan ini harus diupayaan sekuat tenaga oleh seorang guru.

6.  Guru secara pribadi dan bersama-sama, mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya.

Kode Etik Guru ini harus selalu meningkatkan dan mengembangkan mutu serta martabat profesinya dan ini dapat dilakukan secara pribadi ataupun kelompok.

7.  Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan dan kesetiakawanan sosial.

Kode Etik Guru ini intinya menjalin kerja sama yang mutualisme dengan rekan seprofesi. Rasa senasib dan sepenanggungan, biasanya mengikat para guru untuk bersatu dalam menyatukan visi dan misinya.

8.  Guru bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu dari organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdiannya.

Kode Etik Guru ini yaitu “ Guru bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana dalam perjuangan dan pengabdiannya.” Jika memang benar bahwa PGRI merupakan sarana dan wadah yang menampung aspirasi guru, sarana perjuangan dan pengabdian guru, maka taktik monopoli seprofesi guru oleh pengurus PGRI harus segera disudahi. Karena cara seperti itu hanya akan membuat guru semakin tidak berdaya, dan membuat citra masyarakat semakin negatif terhadap profesi ini. Justru sebaliknya, PGRI harus menjadi satu kekuatan profesi guru dalam menggapai harapannya. Organisasi ini seharusnya mampu menjembatani dan mengayomi aspirasi para guru, dan bahkan jika memungkinkan, PGRI harus mampu mengangkat harkat dan martabat guru yang semakin hari semakin cenderung terpuruk adanya.

9.  Guru melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan.

Kode etik ini didasari oleh dua asumsi, pertama karena guru sebagai aparatur negara (sepanjang mereka itu PNS), kedua karena guru orang yang ahli dalam bidang pendidikan. Oleh karena itu sudah sewajarnya guru melaksanakan semua kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan, selagi sesuai dengan kemampuan guru itu dan tidak melecehkan harkat dan martabat guru itu sendiri.


G.  PENERAPAN KODE ETIK GURU DALAM PELAKSANAAN TUGASNYA

Penerapan kode etik guru dalam tugasnya begitu luas untuk dipaparkan secara keseluruhan, karena banyak masalah dan kendala yang dialami dalam melaksanakan tugasnya. Akan tetapi dalam bahasan ini pemaparan akan tugas utama sebagai guru yaitu:

1.  Multi Peran dan Tugas Guru dalam Proses Pembelajaran

Tugas guru dalam profesinya bahwa guru sebagai pendidik dan sebagai pengajar. Akan tetapi, muara dari kedua peran tersebut terjadi pada arena proses pembelajaran yang dengan tujuan, bahwa guru dapat menciptakan suasana dan situasi yang dapat diterima dalam belajar. Guru memainkan multi peran dalam proses pembelajaran yang diselenggarakannya dengan tugas yang amat bervariasi. Jika seorang guru telah berpegang dengan ketentuan dan amat bervariasi sehingga di dapatkan guru dapat mewujudkan suasana yang belajar dan mengajar.

Guru berperan sebagai manajer, pemandu, organisator, koordinator, komunikatif, fasilitator, dan motivator proses pembelajaran (Umar Tirtarahardja dan La Sulo, 1994:262). Dengan versi yang agak berbeda Abin Syamsudin (1999) mengemukakan tujuh peran dan tugas guru dalam proses pembelajaran, yaitu sebagai konservator, inovator, transmitor, transformator, organisator, planner dan evaluator. Jika berpegang pada kedua pendapat tersebut, sedikitnya ada tiga belas peran dan tugas guru dalam sistem pembelajaran, yaitu sebagai konservator (pemelihara), inovator, transmitor, transformator (penerjemah), perencana (planner), manajer proses pembelajaran, pemandu, organisator (penyelenggara), koordinator, komunikator, fasilitator, motivator, dan penilai sistem pembelajaran.

2.  Penerapan Kode Etik Guru dalam Pelaksanaan Tugasnya

Pemahaman atas peran dan tugas guru, khususnya dalam pelaksanaan sistem pembelajaran seyogyanya menjadi kerangka berfikir (frame work) dalam bahasan tentang kode etik guru sebagaimana mestinya. Kode Etik Guru Indonesia dalam pelaksanaan tugasnya sesuai dengan AD/ART PGRI 1989. Kode etik guru sebagai pedoman bagi para guru dalam berperilaku sesungguhnya dapat diterapkan di dalam arena dan tahapan kegiatan pembelajaran. Bahkan, kalau ingin mendapat tempat di hati peserta didik, maka guru dipandang perlu berpegang teguh pada kode etiknya pada saat proses pembelajaran berlangsung. Perilaku yang ditampilkan seorang guru harus mencerminkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kode etik guru itu, sehingga makna kode etik tersebut menjelma dalam perilakunya.

H.  PENERAPAN KODE ETIK GURU DALAM MASYARAKAT

Dalam menjalankan tugas profesinya, seorang guru akan berinteraksi dengan masyarakat. Keterkaitan lain antara guru dan masyarakat bahwa guru berperan sebagai pendidik yang banyak bertanggung jawab dalam (1) memelihara sistem nilai, (2) penerus sistem nilai, (3) penerjemah sistem nilai. Masyarakat dengan pendidikan dapat ditinjau dengan 3 segi yaitu:

1.   Masyarakat sebagai penyelenggara pendidikan.

2.   Masyarakat juga ikut andil dalam peran dan fungsi di lembaga kemasyarakatan secara langsung maupun tidak.

3.   Dalam masyarakat tersedia berbagai sumber belajar, baik yang dirancang maupun dimanfaatkan.

Paparan diatas menunjukan bahwa (1) Masyarakat merupakan tempat melaksanakan tugas keprofesian seorang guru, (2) masyarakat menjadi sumber belajar dan mendidik seorang guru, (3) masyarakat sebagai konsumen dan pengguna jasa dan hasil pendidikan. Guru dan tenaga kependidikan seperti yang telah dipaparkan diatas, yaitu bahwa masyarakat merupakan pelanggan jasa pelayanan pendidikan dan pengguna hasil kependidikan.

Masyarakat dan Karakteristiknya

Masyarakat selalu mencakup kelompok-kelompok orang yang berinteraksi antara sesama, saling ketergantung dan terikat oleh nilai dan norma yang dipatuhi bersama. Karakteristik masyarakat umum perlu dipahami betul karena adanya keunikan atas suku bangsa, bahasa, dan lain sebagainya.

Pada umumnya ada 2 ciri umum keunikan masyarakat Indonesia yakni:

a.   Secara Horizontal, ditandai oleh kesatuan-kesatuan sosial atau komunikasi yang berbeda.

b.   Secara Vertikal, ditandai dengan perbedaan pola kehidupan mereka yang bermacam-macam.

Keunikan masyarakat ini, justru perlu di pandang sebagai potensi yang sangat bermanfaat dalam menunaikan tugasnya. Perbedaan itu adalah suatu kewajaran dan sekaligus kekayaan yang berharga. Selain itu seorang guru juga jangan gampang dalam menerapkan kode etik, karena akan dikhawatirkan guru akan mengalami future shock (keterkejutan masa depan), sebab di masa depan kemungkinan terjadi fenomena bahwa benda yang hari ini di anggap paling canggih besok lusa bisa menjadi sudah dimuseumkan karena terimbas oleh penemuan baru yang lebih canggih lagi.

Gambaran masyarakat masa depan adalah ditandai dengan terjadinya proses globalisasi yang amat cepat. Untuk melukiskan kejadian semacam itu Kenichi Ohmac menulis buku yang berjudul The Borderless World atau Dunia Tanpa Tapal Batas (Dedi supriadi, 1990 : 60).

Yang perlu diperhatikan secara serius adalah masyarakat yang membutuhkan layanan profesional dalam berbagai kehidupan. Karakteristik semacam itu diwarnai oleh dua hal yaitu: Pertama, karena perkembangan IPTEK yang semakin canggih dan daya pikir masyarakat yang semakin kritis. Kedua, karena semakin terspesialisasikannya berbagai bidang pekerjaan.

Penerapan Kode Etik Guru dalam Kehidupan Bermasyarakat

Dalam pembahasan diatas, yang menyebutkan karakteristik masyarakat Indonesia dan kecenderungan dapat dijadikan kerangka berfikir dalam bahasan penerapan kode etik guru sebagaimana mestinya. Kalau guru dan tenaga kependidikan ingin exist ketika berinteraksi dengan masyarakat, maka guru harus berpegang teguh pada kode etiknya. Perilaku yang ditampilkan harus mencerminkan nilai-nilai luhur kode etik itu (kode etik berdasarkan AD/ART PGRI 1989) sehingga kandungannya menjelma dalam perilakunya.


I.    FUNGSI KODE ETIK KEGURUAN DALAM TUGAS DAN BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN

Keluarga merupakan kelompok masyarakat terkecil, berupa pengelompokan primer yang terdiri atas sejumlah kecil. Pendidikan keluarga bagi anak merupakan pendidikan pertama dan utama sehingga akan sangat sulit untuk dihilangkan. Pendidikan keluarga bagi perkembangan anak telah dituangkan oleh pemerintah dalam UU No. 2 tahun 1989, Pasal 10 ayat 4 yang menyatakan bahwa pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga.

Melihat pentingnya keluarga bagi perkembangan anak dan pentingnya keutuhan serta keharmonisan dalam keluarga. Sesungguhnya kode etik guru telah dijadikan pedoman perilaku bagi guru dimana dan dalam arena apapun. Jika seorang guru telah melaksanakan kode etik ketika melaksanakan pendidikan dalam keluarga, maka akan terhindari dari unsur subjektivitas.

 Di dalam keluarga, guru berperan sebagai model dengan berupaya mengejawantahkan nilai luhur kode etik perilakunya. Guru juga berperan sebagai aktor pencipta suasana demokratis, harus banyak mengajak diskusi guna mengembangkan keluarga dan menyelesaikan masalah dalam keluarga. Jadi pada dasarnya, kode etik guru dalam keluarga berperan sebagai pedoman yang mengarahkan dan membentuk anggota keluarga menjadi manusia yang seutuhnya.

Empat peran dan fungsi kode etik guru dalam keluarga antara lain:

1.   Membentuk anggota keluarga menjadi manusia seutuhnya yang berjiwa pancasila.

2.   Menanamkan kejujuran pada anggota keluarganya.

3.   Memupuk semangat anggota kekeluargaan dan kesetiakawanan anggota keluarga.

4.   Mendorong partisipasinya anggota keluarga dalam mensukseskan jalannya pendidikan.



DAFTAR PUSTAKA


Hermawan S, R. 1979. Etika Keguruan: Suatu Pendekatan Terhadap Kode Etik Guru Indonesia. Jakarta: PT. Margi Wahyu.

Soetjipto dan Kosasi, Raflis. 1999. Profesi Keguruan. Jakarta: pusat Perbukuan Depdikbud dan Rineka Cipta.

http://pakgalihwordpress.com/2009/04/07/deskripsi-kode-etik-keguruan-dalam-pelaksanaan-berbagai-bidang-kehidupan/ (diakses:6  September 2010)


Kode etik profesi keguruan Kode etik profesi keguruan Reviewed by Ifta on December 07, 2015 Rating: 5
Powered by Blogger.