Kode etik profesi keguruan


A.      PENGERTIAN KODE ETIK PROFESI KEGURUAN

Secara etimologis, kode etik berarti pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Dengan kata lain, kode etik merupakan pola aturan atau tata cara etis sebagai pedoman berperilaku. Etis berarti sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang dianut oleh sekelompok orang atau masyarakat tertentu.

Dalam kaitannya dengan istilah profesi, kode etik merupakan tata cara atau aturan yang menjadi standar kegiatan anggota suatu profesi. Gibson dan Mitchel (1995:449) menegaskan bahwa a code of ethics represents the profesional values of a profession translated into standarts of conduct for the memberships. Suatu kode etik menggambarkan nilai-nilai profesional suatu profesi yang diterjemahkan ke dalam standar perilaku anggotanya. Inti nilai profesional yaitu adanya sifat altruistis dari seorang profesional, mementingkan kesejahteraan orang lain dan lebih berorientasi pada pelayanan masyarakat umum. Jadi nilai profesional utama adalah keinginan untuk memberikan pengabdian kepada masyarakat.

Nilai profesional seperti di atas disebut juga dengan istilah asas etis, yaitu landasan-landasan berpijak sebagai penopang perilaku etis. Canadian Code of Ethics, yang sering juga dikemukakan para ahli dengan istilah CCE (Chung, 1981) mengemukakan empat asas etis, yaitu: (1) respect for the dignity of ethics (menghargai harkat dan martabat manusia), (2) responsable caring (kepedulian yang bertanggung jawab), (3) Integrity in relationships (integritas dalam hubungan), dan (4) responsibility to society (tanggung jawab kepada masyarakat).

Jika kode etik itu dijadikan standar aktivitas anggota profesi, kode etik tersebut sekaligus sebagai pedoman. Bahkan sebagai pedoman bagi masyarakat untuk mengantisipasi terjadinya bias interaksi antara masyarakat dengan anggota profesi tersebut. Bias interaksi tersebut merupakan monopoli profesi, yaitu memanfaatkan kekuasaan dan hak-hak istimewa untuk melindungi kepentingan pribadi yang bertentangan dengan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, dapat dipahami jika Oteng Sutisna (1986:364) sampai mendefinisikan kode etik sebagai seperangkat pedoman yang memaksa perilaku etis para anggota profesi. Perangkat pedoman ini lebih eksplisit, sistematis, dan mengikat.

Konvensi nasional IPBI ke-1 mendefinisikan kode etik sebagai pola ketentuan, aturan, tata cara yang menjadi pedoman dalam menjalankan tugas dan aktivitas suatu profesi. Pola, ketentuan dan aturan tersebut seharusnya diikuti, dan ditaati oleh setiap orang yang menyandang dan menjalankan profesi tersebut.

Keharusan dalam definisi di atas memperkuat suatu penafsiran bahwa jika anggota profesi tidak berperilaku seperti apa yang tertera dalam kode etik, maka konsekuensinya ia berhadapan dengan sanksi. Paling tidak sanksi dari masyarakat berupa lunturnya kepercayaan masyarakat kepada profesi itu, bahkan sampai hukuman pidana sekalipun.

Dalam Pidato pembukaan Kongres PGRI XIII, Basuni sebagai Ketua Umum PGRI menyatakan bahwa Kode Etik Guru Indonesia merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku guru warga PGRI dalam melaksanakan panggilan pengabdiannya bekerja sebagai guru (PGRI, 1973). Dari pendapat Ketua Umum PGRI ini dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam Kode Etik Guru Indonesia terdapat dua unsur pokok yakni: (a) sebagai landasan moral dan (b) sebagai pedoman tingkah laku.

Dari uraian tersebut kelihatan, bahwa kode etik suatu profesi adalah norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap anggota profesi di dalam melaksanakan tugas profesinya dan dalam hidupnya di masyarakat. Norma-norma tersebut berisi petunjuk-petunjuk bagi para anggota profesi tentang bagaimana mereka melaksanakan profesinya dan larangan-larangan, yaitu ketentuan-ketentuan tentang apa yang tidak boleh diperbuat atau dilaksanakan oleh mereka, tidak saja dalam menjalankan tugas profesi mereka, melainkan juga menyangkut tingkah laku anggota profesi pada umumnya dalam pergaulannya sehari-hari di dalam masyarakat.

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, Pasal 28 Undang-Undang ini dengan jelas menyatakan bahwa “Pegawai Negeri Sipil mempunyai kode etik sebagai pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan di dalam dan di luar kedinasan”.

Dalam penjelasan Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa dengan adanya kode etik ini, Pegawai Negeri Sipil sebagai aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat mempunyai pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam melaksanakan tugasnya dan dalam pergaulan hidup sehari-hari. Selanjutnya, dalam Kode Etik Pegawai Negeri Sipil itu digariskan pula prinsip-prinsip pokok tentang pelaksanaan tugas dan tanggung jawab pegawai negeri. Dari uraian ini dapat disimpulkan, bahwa kode etik merupakan pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan di dalam melaksanakan tugas dan dalam hidup sehari-hari.


B.       TUJUAN KODE ETIK PROFESI KEGURUAN

Pada dasarnya tujuan merumuskan kode etik dalam suatu profesi adalah untuk kepentingan anggota dan kepentingan organisasi profesi itu sendiri. Secara umum tujuan mengadakan kode etik adalah sebagai berikut (R. Hermawan S, 1979):

1.    Untuk menjunjung tinggi martabat profesi

Dalam hal ini kode etik dapat menjaga pandangan dan kesan dari pihak luar atau masyarakat, agar mereka jangan sampai memandang rendah atau remeh terhadap profesi yang bersangkutan. Oleh karenanya, setiap kode etik suatu profesi akan melarang berbagai bentuk tindak-tanduk atau kelakuan anggota profesi yang dapat mencemarkan nama baik profesi terhadap dunia luar. Dari segi ini, kode etik juga seringkali disebut kode kehormatan.

2.    Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggotanya

Yang dimaksud kesejahteraan di sini meliputi baik kesejahteraan lahir (atau material) maupun kesejahteraan batin (spiritual atau mental). Dalam hal kesejahteraan lahir para anggota profesi, kode etik umumnya memuat larangan-larangan kepada para anggotanya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan kesejahteraan para anggotanya. Misalnya dengan menetapkan tarif-tarif minimum bagi honorarium anggota profesi dalam melaksanakan tugasnya, sehingga siapa-siapa yang mengadakan tarif di bawah minimum akan dianggap tercela dan merugikan rekan-rekan seprofesi. Dalam hal kesejahteraan batin para anggota profesi, kode etik umumnya memberi petunjuk-petunjuk kepada para anggotanya untuk melaksanakan profesinya.

3.    Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi.

Tujuan lain kode etik dapat juga berkaitan dengan peningkatan kegiatan pengabdian profesi, sehingga bagi para anggota profesi dapat dengan mudah mengetahui tugas dan tanggung jawab pengabdiannya dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, kode etik merumuskan ketentuan-ketentuan yang perlu dilakukan para anggota profesi dalam menjalankan tugasnya.

4.    Untuk meningkatkan mutu profesi

Untuk meningkatkan mutu profesi kode etik juga memuat norma-norma dan anjuran agar para anggora profesi selalu berusaha untuk meningkatkan mutu pengabdian para anggotanya.

5.    Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi

Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi, maka diwajibkan kepada setiap anggota untuk secara aktif berpartisipasi dalam membina organisasi profesi dan kegiatan-kegiatan yang dirancang organisasi.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan suatu profesi menyusun kode etik adalah untuk menjunjung tinggi martabat profesi, menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota, meningkatkan pengabdian anggota profesi, dan meningkatkan mutu profesi dan mutu organisasi profesi.


C.      FUNGSI KODE ETIK PROFESI KEGURUAN

Pada dasarnya kode etik dapat berfungsi ganda, yaitu sebagai perlindungan dan pengembangan bagi profesi itu dan sebagai perlindungan bagi masyarakat pengguna jasa pelayanan suatu profesi. Fungsi kode etik seperti itu sesuai dengan apa yang dikemukakan Gibson dan Mitchel (1995:449), namun mereka lebih menekankan pada pentingnya kode etik tersebut sebagai pedoman pelaksanaan tugas profesional anggota suatu profesi bagi masyarakat pengguna profesi dalam meminta pertanggungjawaban jika ada anggota profesi yang bertindak di luar kewajaran sebagai profesional.

Biggs dan Blocher (1986:10) mengemukakan tiga fungsi kode etik, yaitu:

 (a) to protect a profession from goverment interference (melindungi suatu profesi dari campur tangan pemerintah).

 (b) to prevent internal disagreements within a profession (mencegah terjadinya pertentangan internal dalam suatu profesi).

 (c) to protect practitioners in cases of alleged malpractice (melindungi para praktisi dari kesalahan praktik suatu profesi).

Susan Zanti dan Syahmiar Syahrun (1992) secara spesifik mengemukakan empat fungsi kode etik guru bagi guru itu sendiri. Keempat fungsi kode etik tersebut sebagai berikut.
  1. Agar guru terhindar dari penyimpangan profesi, karena sudah adanya landasan yang digunakan mereka sebagai acuan.
  2. Untuk mengatur hubungan guru dengan murid, teman sekerja dan masyarakat, jabatan profesi, dan pemerintah.
  3. Sebagai pegangan dan pedoman tingkah laku guru agar lebih bertanggung jawab pada profesinya.
  4. Pemberi arah yang benar kepada penggunaan profesinya.

Secara umum dapat dirinci bahwa fungsi kode etik guru ialah:

  1. Agar guru memiliki pedoman dan arah yang jelas dalam melaksanakan tugasnya, sehingga terhindar dari penyimpangan profesi.
  2. Agar guru bertanggung jawab atas profesinya.
  3. Agar profesi guru terhindar dari perpecahan dan pertentangan internal.
  4. Agar guru mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan, sehingga jasa profesi guru diakui dan digunakan oleh masyarakat sebagai profesi yang membantu dalam memecahkan masalah dan mengembangkan diri.
  5. Agar profesi guru terhindar dari campur tangan profesi lain dan pemerintah.

Kode etik guru sesungguhnya merupakan pedoman yang mengatur hubungan guru dengan teman sejawat, peserta didik, orang tua peserta didik, pimpinan, masyarakat, dan dengan misi tugasnya. Jalinan hubungan tersebut dilakukan untuk kepentingan, terutama untuk kepentingan perkembangan siswa secara optimal. Secara jelas, jalinan hubungan itu diatur oleh kode etik.

Etika hubungan guru dengan teman sejawat menuntut perilaku yang kooperatif, mempersamakan, dan saling mendukung. Kompetisi yang agresif dan tidak sehat harus dicegah. Hubungan antar sejawat terutama terjadi dalam bentuk konsultasi dan referal (Oteng Sutina, 1986:364). Konsultasi merupakan kebiasaan untuk mengundang teman sejawat agar ikut serta dalam menganalisis kebutuhan peserta didik dan kemungkinan perencanaan bantuannya. Referal adalah proses penerusan bantuan seorang peserta didik (klien) kepada teman sejawat yang profesional atau penyandang profesi lain yang relevan untuk membantu pemecahan masalah dan mengembangkan diri peserta didik, tentu saja sesuai dengan karakteristik permasalahan yang dihadapi peserta didik. Misalnya ketika seorang guru mempunyai murid yang mengalami kesulitan belajar, yang kesulitannya di luar batas kemampuan guru itu, maka guru tersebut mengkonsultasikannya kepada guru lain. Kalau peserta didik perlu diberi layanan konseling, guru tersebut sebaiknya membuat referal kepada konselor sekolah/pembimbing, bahkan kalau masalahnya sudah menyangkut rekonstruksi psikologis, misalnya mengalami gangguan fungsi psikis, maka peserta didik tersebut sebaiknya direferal kepada psikolog, psikiater atau dokter dan sebagainya.

Etika hubungan guru dengan peserta didik menuntut terciptanya hubungan berupa helping relationship (Brammer, 1979), yaitu hubungan yang bersifat membantu dengan mengupayakan terjadinya iklim sekolah yang kondusif bagi perkembangan peserta didik. Hubungan ini ditandai oleh adanya perilaku empati, penerimaan dan penghargaan, kehangatan dan perhatian, keterbukaan dan ketulusan, serta kekonkretan, dan kekhususan ekspresi seorang guru.

Etika hubungan guru dengan pemimpin di sekolah menuntut adanya saling mempercayai. Guru percaya bahwa pimpinan sekolah memberi tugas yang dapat dikerjakannya dan setiap pekerjaan yang dilakukan pasti ada imbalannya, paling tidak di akhirat kelak. Sebaliknya, pimpinan sekolah atau madrasah mempercayakan suatu tugas kepada guru karena keyakinannya bahwa guru tersebut akan mampu melaksanakannya sebaik mungkin. Dalam hubungan guru dengan pimpinan tersebut yang terpenting adanya tanggung jawab dari kedua belah pihak atas konsekuensi dari beban kerja itu. Yang harus diterima guru dari pimpinan sekolah adalah tugas kependidikan. Kalau dalam pelaksanaan ada masalah tentu perlu konsultasi. Manakala tugas telah dilaksanakan, guru memberi laporan. Jadi, isi utama hubungan guru dengan pimpinan sekolah adalah penerimaan dan pemberian tugas, konsultasi-supervisi, dan laporan-evaluasi.

Guru sangat perlu memelihara hubungan baik dengan masyarakat yang lebih luas untuk kepentingan pendidikan, misalnya mengadakan kerjasama dengan kalangan industri terdekat yang berorientasi pada peningkatan mutu pendidikan, mengembangan jaringan PSG dengan perusahaan-perusahaan yang relevan dan pihak yang terkait lainnya.

Guru menghayati hubungan baik terhadap misi tugasnya sendiri, dengan berupaya meningkatkan profesionalisme dan kinerjanya. Peningkatan profesionalisme dapat dilakukan melalui pendalaman ilmu keguruan/kependidikan atau ilmu pengetahuan terkini, atau dengan cara melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi serta berpartisipasi dalam kegiatan keprofesian yang relevan. Peningkatan kinerja dapat diawali dari mencintai profesi kependidikan, sehingga profesi ini menjadi bagian dari hidupnya.


D.       PENETAPAN KODE ETIK

Kode etik hanya dapat ditetapkan oleh suatu organisasi profesi yang berlaku dan mengikat para anggotanya. Penetapan kode etik lazim dilakukan pada suatu kongres organisasi profesi. Dengan demikian penetapan kode etik tidak boleh dilakukan oleh orang secara perorangan, melainkan harus dilakukan oleh orang-orang yang diutus untuk dan atas nama anggota-anggota profesi dari organisasi tersebut. Dengan demikian jelas bahwa orang-orang yang bukan atau tidak menjadi anggota profesi tersebut, tidak dapat dikenakan aturan yang ada dalam kode etik tersebut. Kode etik suatu profesi hanya akan mempunyai pengaruh yang kuat dalam menegakkan disiplin di kalangan profesi tersebut, jika semua orang menjalankan profesi tersebut tergabung (menjadi anggota) dalam organisasi profesi yang bersangkutan.

Apabila setiap orang yang menjalankan suatu profesi secara otomatis tergabung di dalam suatu organisasi atau ikatan profesional, maka barulah ada jaminan bahwa profesi tersebut dapat dijalankan secara murni dan baik, karena setiap anggota profesi yang melakukan pelanggaran yang serius terhadap kode etik dapat dikenakan sanksi.


E.        SANKSI PELANGGARAN KODE ETIK

Sering juga kita jumpai, bahwa ada kalanya negara mencampuri urusan profesi, sehingga hal-hal yang semula hanya merupakan kode etik saja dari suatu profesi tertentu dapat meningkat menjadi peraturan hukum atau undang-undang. Apabila halnya demikian, maka aturan yang mulanya sebagai landasan moral dan pedoman tingkah laku meningkat menjadi aturan yang memberikan sanksi-sanksi hukum yang sifatnya memaksa, baik berupa sanksi perdata maupun sanksi pidana.

Sebagai contoh dalam hal ini jika seseorang angggota profesi bersaing secara tidak jujur atau curang sesama anggota profesinya dan jika dianggap kecurangan itu serius ia dapat dituntut di muka pengadilan. Pada umunya karena kode etik adalah landasan moral dan merupakan pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan, maka sanksi terhadap pelanggaran kode etik adalah sanksi moral. Barang siapa melanggar kode etik, akan mendapat celaan dari rekan-rekannya, sedangkan sanksi yang dianggap terberat adalah si pelanggar dikeluarkan dari organisasi profesi. Adanya kode etik dalam suatu organisasi profesi tertentu menandakan bahwa organisasi profesi itu telah mantap.


F.        KODE ETIK GURU INDONESIA

Kode Etik Guru Indonesia dapat dirumuskan sebagai himpunan nilai-nilai dan norma-norma profesi guru yang tersusun dengan baik, sistematik dalam suatu sistem yang utuh dan bulat. Fungsi Kode Etik Guru Indonesia adalah sebagai landasan moral dan pedoman tingkah laku setiap guru warga PGRI dalam menunaikan tugas pengabdiannya sebagai guru, baik di dalam maupun di luar sekolah serta dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Dengan demikian, maka Kode Etik Guru Indonesia merupakan alat yang amat penting untuk pembentukan sikap profesional para anggota profesi keguruan.

Sebagaimana halnya dengan profesi lainnya, Kode Etik Guru Indonesia ditetapkan dalam suatu kongres yang dihadiri oleh seluruh utusan Cabang dan Pengurus Daerah PGRI dari seluruh penjuru tanah air, pertama dalam Kongres ke XIII di Jakarta tahun 1973, dan kemudian disempurnakan dalam Kongres PGRI ke XVI tahun 1989 juga di Jakarta. Adapun teks Kode Etik Guru Indonesia yang telah disempurnakan tersebut adalah sebagai berikut:

KODE ETIK GURU INDONESIA

Guru Indonesia menyadari bahwa pendidikan adalah bidang pengabdian terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Bangsa, dan Negara serta pada kemanusiaan pada umumnya. Guru Indonesia yang berjiwa Pancasila dan setia pada UUD 1945, turut bertanggung jawab atas terwujudnya cita-cita proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Oleh kerena itu, Guru Indonesia terpanggil untuk menunaikan karyanya dengan memedomani dasar-dasar sebagai berikut:

1.  Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia yang seutuhnya yang berjiwa Pancasila.

Ini mengandung pengertian bahwa perhatian utama seorang guru adalah peserta didik. Perhatiannya itu semata-mata dicurahkan untuk membimbing peserta didik, yaitu mengembangkan potensinya secara optimal dengan mengupayakan terciptanya pembelajaran yang edukatif. Melalui proses inilah diharapkan peserta didik menjelma sebagai manusia seutuhnya yang berjiwa Pancasila. Manusia utuh yang dimaksud adalah manusia yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohaninya, bukan hanya sehat secara fisik, namun juga secara psikis. Manusia yang berjiwa Pancasila artinya manusia yang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara selalu mengindahkan dan mengaplikasikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

2.  Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional.

Kode Etik Guru ini mengandung makna bahwa guru hanya sanggup menjalankan tugas profesi yang sesuai dengan kemampuannya. Ia tidak menunjukkan sifat arogansi profesional. Manakala menghadapi masalah yang ia sendiri tidak mampu mengatasinya, ia mengaku dengan jujur bahwa masalah itu di luar kemampuannya, sambil terus berupaya meningkatkan kemampuan yang dimilikinya.

3.  Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan.

Ini menunjukkan pentingnya seorang guru mendapatkan informasi tentang peserta didik selengkap mungkin. Informasi tentang kemampuannya, minat, bakat, motivasi, kawan-kawannya dan informasi yang kira-kira berpengaruh pada perkembangan peserta didik dan mempermudah guru dalam membimbing dan membina peserta didik tersebut.

4.  Guru harus dapat menciptakan suasana yang dapat diterima peserta didik untuk berhasilnya proses belajar mengajar.

Kode Etik Guru keempat mengisyaratkan pentingnya guru menciptakan suasana sekolah yang aman, nyaman dan membuat peserta didik betah belajar. Yang perlu dibangun antara lain iklim komunikasi yang demokratis, hangat dan penuh rasa kekeluargaan, tetapi menjauhkan diri dari kolusi dan nepotisme.

5.      Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitar supaya terjalin hubungan dan kerjasama yang baik dalam pendidikan.

Kode Etik Guru ini mengangkat pentingnya peran serta orang tua siswa dan masyarakat sekitarnya untuk andil dalam proses pendidikan di sekolah/ madrasah. Peran serta mereka akan terwujud jika terjalin hubungan baik antara guru dengan peserta didik, dan ini harus diupayaan sekuat tenaga oleh seorang guru.

6.  Guru secara pribadi dan bersama-sama, mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya.

Kode Etik Guru ini harus selalu meningkatkan dan mengembangkan mutu serta martabat profesinya dan ini dapat dilakukan secara pribadi ataupun kelompok.

7.  Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan dan kesetiakawanan sosial.

Kode Etik Guru ini intinya menjalin kerja sama yang mutualisme dengan rekan seprofesi. Rasa senasib dan sepenanggungan, biasanya mengikat para guru untuk bersatu dalam menyatukan visi dan misinya.

8.  Guru bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu dari organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdiannya.

Kode Etik Guru ini yaitu “ Guru bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana dalam perjuangan dan pengabdiannya.” Jika memang benar bahwa PGRI merupakan sarana dan wadah yang menampung aspirasi guru, sarana perjuangan dan pengabdian guru, maka taktik monopoli seprofesi guru oleh pengurus PGRI harus segera disudahi. Karena cara seperti itu hanya akan membuat guru semakin tidak berdaya, dan membuat citra masyarakat semakin negatif terhadap profesi ini. Justru sebaliknya, PGRI harus menjadi satu kekuatan profesi guru dalam menggapai harapannya. Organisasi ini seharusnya mampu menjembatani dan mengayomi aspirasi para guru, dan bahkan jika memungkinkan, PGRI harus mampu mengangkat harkat dan martabat guru yang semakin hari semakin cenderung terpuruk adanya.

9.  Guru melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan.

Kode etik ini didasari oleh dua asumsi, pertama karena guru sebagai aparatur negara (sepanjang mereka itu PNS), kedua karena guru orang yang ahli dalam bidang pendidikan. Oleh karena itu sudah sewajarnya guru melaksanakan semua kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan, selagi sesuai dengan kemampuan guru itu dan tidak melecehkan harkat dan martabat guru itu sendiri.


G.  PENERAPAN KODE ETIK GURU DALAM PELAKSANAAN TUGASNYA

Penerapan kode etik guru dalam tugasnya begitu luas untuk dipaparkan secara keseluruhan, karena banyak masalah dan kendala yang dialami dalam melaksanakan tugasnya. Akan tetapi dalam bahasan ini pemaparan akan tugas utama sebagai guru yaitu:

1.  Multi Peran dan Tugas Guru dalam Proses Pembelajaran

Tugas guru dalam profesinya bahwa guru sebagai pendidik dan sebagai pengajar. Akan tetapi, muara dari kedua peran tersebut terjadi pada arena proses pembelajaran yang dengan tujuan, bahwa guru dapat menciptakan suasana dan situasi yang dapat diterima dalam belajar. Guru memainkan multi peran dalam proses pembelajaran yang diselenggarakannya dengan tugas yang amat bervariasi. Jika seorang guru telah berpegang dengan ketentuan dan amat bervariasi sehingga di dapatkan guru dapat mewujudkan suasana yang belajar dan mengajar.

Guru berperan sebagai manajer, pemandu, organisator, koordinator, komunikatif, fasilitator, dan motivator proses pembelajaran (Umar Tirtarahardja dan La Sulo, 1994:262). Dengan versi yang agak berbeda Abin Syamsudin (1999) mengemukakan tujuh peran dan tugas guru dalam proses pembelajaran, yaitu sebagai konservator, inovator, transmitor, transformator, organisator, planner dan evaluator. Jika berpegang pada kedua pendapat tersebut, sedikitnya ada tiga belas peran dan tugas guru dalam sistem pembelajaran, yaitu sebagai konservator (pemelihara), inovator, transmitor, transformator (penerjemah), perencana (planner), manajer proses pembelajaran, pemandu, organisator (penyelenggara), koordinator, komunikator, fasilitator, motivator, dan penilai sistem pembelajaran.

2.  Penerapan Kode Etik Guru dalam Pelaksanaan Tugasnya

Pemahaman atas peran dan tugas guru, khususnya dalam pelaksanaan sistem pembelajaran seyogyanya menjadi kerangka berfikir (frame work) dalam bahasan tentang kode etik guru sebagaimana mestinya. Kode Etik Guru Indonesia dalam pelaksanaan tugasnya sesuai dengan AD/ART PGRI 1989. Kode etik guru sebagai pedoman bagi para guru dalam berperilaku sesungguhnya dapat diterapkan di dalam arena dan tahapan kegiatan pembelajaran. Bahkan, kalau ingin mendapat tempat di hati peserta didik, maka guru dipandang perlu berpegang teguh pada kode etiknya pada saat proses pembelajaran berlangsung. Perilaku yang ditampilkan seorang guru harus mencerminkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kode etik guru itu, sehingga makna kode etik tersebut menjelma dalam perilakunya.

H.  PENERAPAN KODE ETIK GURU DALAM MASYARAKAT

Dalam menjalankan tugas profesinya, seorang guru akan berinteraksi dengan masyarakat. Keterkaitan lain antara guru dan masyarakat bahwa guru berperan sebagai pendidik yang banyak bertanggung jawab dalam (1) memelihara sistem nilai, (2) penerus sistem nilai, (3) penerjemah sistem nilai. Masyarakat dengan pendidikan dapat ditinjau dengan 3 segi yaitu:

1.   Masyarakat sebagai penyelenggara pendidikan.

2.   Masyarakat juga ikut andil dalam peran dan fungsi di lembaga kemasyarakatan secara langsung maupun tidak.

3.   Dalam masyarakat tersedia berbagai sumber belajar, baik yang dirancang maupun dimanfaatkan.

Paparan diatas menunjukan bahwa (1) Masyarakat merupakan tempat melaksanakan tugas keprofesian seorang guru, (2) masyarakat menjadi sumber belajar dan mendidik seorang guru, (3) masyarakat sebagai konsumen dan pengguna jasa dan hasil pendidikan. Guru dan tenaga kependidikan seperti yang telah dipaparkan diatas, yaitu bahwa masyarakat merupakan pelanggan jasa pelayanan pendidikan dan pengguna hasil kependidikan.

Masyarakat dan Karakteristiknya

Masyarakat selalu mencakup kelompok-kelompok orang yang berinteraksi antara sesama, saling ketergantung dan terikat oleh nilai dan norma yang dipatuhi bersama. Karakteristik masyarakat umum perlu dipahami betul karena adanya keunikan atas suku bangsa, bahasa, dan lain sebagainya.

Pada umumnya ada 2 ciri umum keunikan masyarakat Indonesia yakni:

a.   Secara Horizontal, ditandai oleh kesatuan-kesatuan sosial atau komunikasi yang berbeda.

b.   Secara Vertikal, ditandai dengan perbedaan pola kehidupan mereka yang bermacam-macam.

Keunikan masyarakat ini, justru perlu di pandang sebagai potensi yang sangat bermanfaat dalam menunaikan tugasnya. Perbedaan itu adalah suatu kewajaran dan sekaligus kekayaan yang berharga. Selain itu seorang guru juga jangan gampang dalam menerapkan kode etik, karena akan dikhawatirkan guru akan mengalami future shock (keterkejutan masa depan), sebab di masa depan kemungkinan terjadi fenomena bahwa benda yang hari ini di anggap paling canggih besok lusa bisa menjadi sudah dimuseumkan karena terimbas oleh penemuan baru yang lebih canggih lagi.

Gambaran masyarakat masa depan adalah ditandai dengan terjadinya proses globalisasi yang amat cepat. Untuk melukiskan kejadian semacam itu Kenichi Ohmac menulis buku yang berjudul The Borderless World atau Dunia Tanpa Tapal Batas (Dedi supriadi, 1990 : 60).

Yang perlu diperhatikan secara serius adalah masyarakat yang membutuhkan layanan profesional dalam berbagai kehidupan. Karakteristik semacam itu diwarnai oleh dua hal yaitu: Pertama, karena perkembangan IPTEK yang semakin canggih dan daya pikir masyarakat yang semakin kritis. Kedua, karena semakin terspesialisasikannya berbagai bidang pekerjaan.

Penerapan Kode Etik Guru dalam Kehidupan Bermasyarakat

Dalam pembahasan diatas, yang menyebutkan karakteristik masyarakat Indonesia dan kecenderungan dapat dijadikan kerangka berfikir dalam bahasan penerapan kode etik guru sebagaimana mestinya. Kalau guru dan tenaga kependidikan ingin exist ketika berinteraksi dengan masyarakat, maka guru harus berpegang teguh pada kode etiknya. Perilaku yang ditampilkan harus mencerminkan nilai-nilai luhur kode etik itu (kode etik berdasarkan AD/ART PGRI 1989) sehingga kandungannya menjelma dalam perilakunya.


I.    FUNGSI KODE ETIK KEGURUAN DALAM TUGAS DAN BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN

Keluarga merupakan kelompok masyarakat terkecil, berupa pengelompokan primer yang terdiri atas sejumlah kecil. Pendidikan keluarga bagi anak merupakan pendidikan pertama dan utama sehingga akan sangat sulit untuk dihilangkan. Pendidikan keluarga bagi perkembangan anak telah dituangkan oleh pemerintah dalam UU No. 2 tahun 1989, Pasal 10 ayat 4 yang menyatakan bahwa pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga.

Melihat pentingnya keluarga bagi perkembangan anak dan pentingnya keutuhan serta keharmonisan dalam keluarga. Sesungguhnya kode etik guru telah dijadikan pedoman perilaku bagi guru dimana dan dalam arena apapun. Jika seorang guru telah melaksanakan kode etik ketika melaksanakan pendidikan dalam keluarga, maka akan terhindari dari unsur subjektivitas.

 Di dalam keluarga, guru berperan sebagai model dengan berupaya mengejawantahkan nilai luhur kode etik perilakunya. Guru juga berperan sebagai aktor pencipta suasana demokratis, harus banyak mengajak diskusi guna mengembangkan keluarga dan menyelesaikan masalah dalam keluarga. Jadi pada dasarnya, kode etik guru dalam keluarga berperan sebagai pedoman yang mengarahkan dan membentuk anggota keluarga menjadi manusia yang seutuhnya.

Empat peran dan fungsi kode etik guru dalam keluarga antara lain:

1.   Membentuk anggota keluarga menjadi manusia seutuhnya yang berjiwa pancasila.

2.   Menanamkan kejujuran pada anggota keluarganya.

3.   Memupuk semangat anggota kekeluargaan dan kesetiakawanan anggota keluarga.

4.   Mendorong partisipasinya anggota keluarga dalam mensukseskan jalannya pendidikan.



DAFTAR PUSTAKA


Hermawan S, R. 1979. Etika Keguruan: Suatu Pendekatan Terhadap Kode Etik Guru Indonesia. Jakarta: PT. Margi Wahyu.

Soetjipto dan Kosasi, Raflis. 1999. Profesi Keguruan. Jakarta: pusat Perbukuan Depdikbud dan Rineka Cipta.

http://pakgalihwordpress.com/2009/04/07/deskripsi-kode-etik-keguruan-dalam-pelaksanaan-berbagai-bidang-kehidupan/ (diakses:6  September 2010)


Kode etik profesi keguruan Kode etik profesi keguruan Reviewed by Ifta on December 07, 2015 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.